Halaman

Kamis, 14 November 2013

KESENIAN BANTENGAN SEBAGAI BUDAYA ASLI KEBANGGAAN MASYARAKAT



KESENIAN BANTENGAN SEBAGAI BUDAYA ASLI KEBANGGAAN MASYARAKAT
Oleh : Ali Sunarno , dkk
Abstrak:
 Indonesia adalah bangsa yang mempunyai ragam kebudayaan yang bermacam- macam. Seni tradisional yang tetap ada sampai saat ini, perlunya diperkenalkan dan dilestarikan oleh masyarakat Indonesia, sebagai sampel Kesenian Bantengan yang berada di Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang.
                Kata kunci : Kesenian Bantengan, Seni tradisional Malang, Pelestarian Kesenian.
A.    Pengantar
Menurut pandangan Arnold (Jenks, 2013: 26), Kebudayaan yaitu kajian tetang kesempurnaan, menuntut kita… untuk memahami kesempurnaan manusia yang sesungguhnya sebagai kesempurnaan yang harmonis yang membangun semua sisi kemanusiaan kita dan sebagai kesempurnaan umum, yang membangun semua bagian masyarakat kita. Menurut Tylor (Jenks, 2013: 44), Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan- kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat. Menurut pandangan Malinowski (Jenks, 2013: 57) menyebut kebudayaan sebagai warisan sosial. Dari ketiga pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari tingkah laku atau warisan sosial manusia yang mempunyai nilai tinggi dalam kehidupannya.
Indonesia merupakan bangsa yang memiliki beragam kebudayaan, salah satu unsurnya yaitu kesenian. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki kesenian khas yang berbeda-beda dengan daerah lain. Di Malang misalnya, selain Tari Topeng juga berkembang seni Bantengan.
Seni  Bantengan telah ada sejak jaman Kerajaan Singasari dengan adanya relief di situs Candi  Jago Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Walaupun pada masa tersebut bentuk kesenian Bantengan belum seperti sekarang, yaitu berbentuk topeng kepala bantengan yang menari. Kesenian ini berkembang pesat sejak tahun 1960-an ketika masa Orde Lama. Setiap perayaan atau pawai hari ulang tahun kemerdekaan senantiasa ditampilkan bersama dengan tari Liang Liong. Kesenian Bantengan pada awalnya selalu dihadirkan pada tiap acara selamatan, suroan serta acara-acara hajatan masyarakat Jawa Timur khususnya warga Malang. Festival tahunan yang menjadi event ikon kota juga sering diadakan setiap tahunnya.
Seni  Tradisional  Bantengan,  merupakan  sebuah  seni pertunjukan  budaya  tradisi  yang menggabungkan  unsur  sendra tari, olah kanuragan, musik, dan syair atau mantra yang sangat kental dengan  nuansa  magis. Kesenian Bantengan yang berkembang dimasyarakat saat ini, sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat tersebut sejak duhulu kala. Namun seiring dengan pesatnya jenis hiburan lainnya, seni Bantengan mengalami penurunan.
Perkembangan kesenian Bantengan mayoritas hanya berada di masyarakat pedesaan atau wilayah pinggiran kota di daerah lereng pegunungan di Jawa Timur tepatnya di Bromo-Tengger-Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi dan Raung-Argopuro. Oleh karenanya kesenian ini membutuhkan perhatian yang serius dari berbagai lini masyarakat, yang berkepentingan untuk ikut bertanggung-jawab. Dengan ditulisnya artikel ini diharapkan sebagai pengetahuan dan motivasi untuk  membangun kembali Kesenian Bantengan agar mampu  mampu menjadi salah satu budaya asli kebanggaan masyarakat diantara himpitan kebudayaan asing.
B.     Gambaran Umum Kesenian Bantengan
Seni  tradisional  Bantengan  adalah  sebuah  seni pertunjukan  budaya  tradisi  yang menggabungkan  unsur  sendratari, olah kanuragan, musik, dan syair (mantra) yang sangat kental dengan  nuansa  magis. Pemain  Bantengan  yakin  bahwa permainannya akan semakin menarik apabila telah masuk tahap trance  yaitu  tahapan  pemain  pemegang  kepala  Bantengan menjadi kesurupan arwah  leluhur banteng  (Dhanyangan). Setiap grup Bantengan minimal mempunyai dua Bantengan seperti halnya satu pasangan yaitu Bantengan jantan dan betina.
Permainan  kesenian  Bantengan dimainkan oleh dua orang  yang berperan sebagai  kaki  depan sekaligus  pemegang  kepala bantengan dan pengendali tari Bantengan serta kaki belakang yang juga berperan sebagai ekor Bantengan. Kostum Bantengan biasanya terbuat dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala banteng yang terbuat dari kayu serta tanduk asli banteng. Bantengan selalu diiringi oleh sekelompok orang yang memainkan musik khas Bantengan yaitu alat musik berupa gong, kendang, dan lain-lain. Biasanya lelaki bagian depan akan kesurupan dan orang yang di belakangnya akan mengikuti setiap gerakannya. Tak jarang orang di bagian belakang juga ikut kesurupan, tetapi sangat jarang terjadi orang yang di bagian belakang kesurupan sedangkan bagian depannya tidak.
Bantengan dibantu agar kesurupan oleh orang (laki-laki) yang berpakaian serba merah yang biasa disebut abangan dan kaos hitam yang biasanya disebut irengan. Bantengan juga selalu diiringi oleh Macanan. Kostum Macanan ini terbuat dari kain yang diberi pewarna (biasanya kuning belang oren), yang dipakai oleh seorang lelaki. Macanan biasanya membantu Bantengan kesurupan dan menahannya bila kesurupannya sampai terlalu ganas. Namun tak jarang Macanan juga kesurupan.
Ornamen yang terdapat di Bantengan yaitu:
1.      Tanduk  (banteng, kerbau, sapi, dan lain-lain)
2.      Kepala banteng yang terbuat dari kayu berukir menyerupai kepala banteng (waru, dadap, kemiri, nangka, loh, kembang, dan lain-lain)
3.      Mahkota Bantengan, berupa  sulur wayangan dari bahan kulit atau kertas
4.      Klontong  (alat bunyi di leher)
5.      Keranjang penjalin (rotan), sebagai badan (pada daerah tertentu hanya  menggunakan kain hitam sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang)
6.      Gongseng kaki
7.      Keluhan (tali kendali)
Dalam setiap pertunjukannya (disebut gebyak), Bantengan didukung beberapa perangkat, yaitu:
1.      Dua orang Pendekar pengendali kepala bantengan (menggunakan tali tampar).
2.      Pemain jidor, gamelan (dua gong, kendang, dan kenong), pengrawit, dan sinden. Minimal satu orang pada setiap posisi.
3.      Sesepuh, orang yang dituakan. Mempunyai kelebihan dalam hal memanggil leluhur Banteng (Dhanyangan) dan mengembalikannya ke tempat asal.
4.      Pamong dan pendekar pemimpin yang memegang kendali kelompok dengan membawa kendali yaitu pecut(cambuk).
5.      Minimal ada dua Macanan dan satu Monyetan sebagai peran pengganggu Bantengan.






C.    Hasil Observasi
Biografi Narasumber
Narasumber 1
Nama               : Samsuri
Umur               : 28 tahun
Jenis Kelamin  : Laki-Laki
Pendidikan      : SD
Agama             : Islam
Alamat                        : Jl. Kertanegara Tumpang Malang

Pak Samsuri telah menekuni kesenian Bantengan ini sejak sekitar tujuh tahun yang lalu. Berawal hanya ikut-ikutan, kemudian Pak Samsuri menjadikan kesenian Bantengan ini sebagai hobi, dan bahkan pada saat ini beliau telah benar-benar mendalami Kesenian Bantengan.
            Pak Samsuri menilai bahwa Kesenian Bantengan memiliki arti tersendiri di dalam hidupnya. Ia menyukai Kesenian Bantengan karena ia dapat mengenal seni secara lebih dalam  khususnya kesenian asli daerah. Selain itu, disisni ia juga dapat belajar karya seni lain  yang berhubungan dengan kesenian Bantengan seperti membuat Pecut.
            Meskipun demikian kesenian bantengan tidak menjadi pekerjaan utama dari pak Samsuri. Hal ini dikarenakan kesenian bantengan hanya tampil pada acara-acara tertentu, dan itupun tidak rutin. Pendapatan dari kesenian Bantengan tidak seberapa, bahkan dalam sebuah pertunjukan pernah juga tidak dibayar dengan uang dan hanya dibayar dengan makanan.
Terkadang pada saat pementasan Bantengan timbul beberapa masalah baik dengan pemain maupun dengan penonton. Hal ini menurut pak Samsuri pernah terjadi ketika pemain Bantengan sedang kesurupan dan tidak bisa dikendalikan oleh penjaga sampai mengenai penonton yang ada di sekitarnya. Insiden ini menimbulkan tawuran antara penjaga dan penonton yang terkena tadi.
            Dibalik ketidakpastian akan bayaran dan beberapa insiden yang terjadi dalam pertunjuk kesenian Bantengan, terdapat cerita unik yang dialami khususnya oleh pak Samsuri. Saat itu pemain yang sedang kesurupan tiba-tiba meminta diantar ke penjual bakso dan meminta baksonya. Selain itu pemain yang kesurupan pernah juga meminta agar kepalanya dipegang oleh wanita cantik yang menonton.
Menurut pak Samsuri kesenian Bantengan mampu bertahan hingga sekarang karena ini merupakan kesenian yang harus dijaga kelestarianya dan jangan sampai punah. Selain itu nilai filosofis yang terkandung dalam kesenian Bantengan ini menjadikan masyarakat lebih mencintai dan melestarikan kesenian Bantengan. Hal ini terbukti dengan tanggapan positif masyarakat terhadap kesenian Bantengan yang setiap kali penampilanya selalu disaksikan banyak penonton.
            Dalam perkembanganya kesenian Bantengan mengalami tambahan kreasi agar tidak terkesan monoton dan lebih menarik penonton. Pada saat ini, kesenian Bantengan biasa ditampilkan dengan disertai Kuda Lumping. Kesenian Bantengan di tampilkan pada acara tertentu yang dianggap sakral seperti pada malam jum’at legi dan upacara di Tengger. Namun ada juga penampilan Bantengan yang hanya bersifat hiburan yaitu seperti Karnaval dan hajatan warga (khitanan dan nikahan).
Pak Samsuri berharap khususnya pada anak-anak dan keluarganya agar tetap melestarikan kesenian Bantengan ini supaya tidak punah di kemudian hari. Ia berpesan demikian karena didalam kesenian bantengan ini terdapat banyak filosofi dan ilmu yang bekaitan masalah kehidupan.

Narasumber 2
Nama               : Ihsan Subero
Tanggal Lahir  : 12 Oktober 1960
Jenis Kelamin  : Laki-laki
Agama             : Islam
Alamat                        : Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang

Menurut pak Ihsan Subero, kesenian Bantengan ini telah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Budha di Jawa Timur, khususnya pada zaman kerajaan Singosari. Hal ini terbukti dengan adanya relief yang menggambarkan kesenian Bantengan di Candi Jago Tumpang Malang. Bantengan menjadi sebuah ikon dari ketangkasan, kekuatan dan kelincahan. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha Bantengan merupakan suatu ritual yang ditampilkan hanya di waktu-waktu tertentu yang dianggap sakral (ritual keagamaan). Namun setelah masuknya pengaruh agama Islam di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Timur, Bantengan digunakan oleh para wali sebagai kesenian yang dipertontonkan kepada masyarakat umum sekaligus menjadi media dakwah. Mekanisme dakwah dari para wali ini yaitu pertama dengan menggelar kesenian Bantengan untuk menyedot antusias masyarakat, baru setelah warga masyarakat berkumpul di sela pertunjukan bantengan di isi dengan dakwah-dakwah Agama Islam. Inilah menurut pak Subero yang menjadikan Islam mudah diterima oleh masyarakat sekitar.
Pak Ihsan Subero menekuni kesenian Bantengan ini sejak tahun 1979, dimana pada waktu itu beliau mendirikan sanggar seni Dharmawijaya. Pada mulanya, beliau menekuni kesenian Ludruk, namun dalam perkembanganya juga menekuni kesenian Jaran Kepang, Topengan dan yang pasti kesenian Bantengan. Kesenian Bantengan mulai dipelajari ketika pak Subero duduk di bangku sekolah. Selain itu beliau juga mempelajari kesenian Bantengan dari buku-buku yang beliau baca. Kesenian Bantengan semakin melekat pada jiwa pak Subero ketika ia melihat guru keseniannya membuat dan memainkan Bantengan. Dari sisnilah pak Subero belajar tentang kesenian Bantengan. Setelah itu beliau mengembangkan sendiri kesenian Bantengan yang secara dasar telah ia miliki sebelumnya dengan cara Otodidak.
Pak Subero memutuskan untuk menjadi pelaku dalam kesenian Bantengan karena beliau merasa peduli dengan kesenian asli daerah yang salah satunya berupa kesenian Bantengan. Beliau beraggapan ”jika tidak anak daerah sendiri yang peduli dengan kesenian asli daerah, lalu sipa lagi…???”. Beliau juga menkritik mengenai kepedulian pemerintah  mengenai kesenian asli daerah yang hanya gembor-gembor peduli, menjaga, dan melestarikan setelah budaya asli daerah mulai di klaim oleh negara lain. Tetapi untuk kesenian seperti Bantengan beliau rasa belum tersentuh oleh kepedulian pihak pemerintah.
Kesenian Bantengan tidaklah menjadi pekerjaan utama pak Subero. Selain menekuni kesenian ini, beliau juga bertani untuk mendapatkan penghasilan, malahan petani inilah yang menjadi pekerjaan utama pak Subero. Beliau berkesenian dengan tujuan hanya untuk menyalurkan hobinya dan jiwa seni yang terdapat pada dirinya, melestarikan kebudayaan atau seni daerah, mengisi waktu luang ketika pulang dari sawah dan hanya sekedar mencari hiburan.
Dalam memainkan kesenian Bantengan tidak terlepas dari beberapa kendala salah satunya pernah terjadi saat pementasan berlangsung dan ada pemain yang sedang kesurupan tidak dapat dikendalikan oleh pawang dan pemegang tali yang mengikat Bantengan, sehingga timbul sedikit kekacauan pada saat itu. Meskipun demikian terdapat kesenangan tersendiri ketika dalam pertunjukan kesenian Bantengan terdapat banyak penonton. Penonton mejadi indikator apakah kesenian Bantengan masih menarik di masyarakat atau tidak.
Kesenian Bantengan mampu bertahan hingga sekarang ini dikarenakan masyarakat yang masih menyukai atraksi dalam kesenian ini. Menurut pak Subero ketertarikan masyarakat akan kesenian Bantegan disebabkan salah satunya kekasaran dan kelincahan pada saat penampilanya, khususnya pada saat pemain mengalami kesurupan. Unsur magis inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat terhadap kesenian Bantengan sehingga bertahan hingga saat ini. Selain itu gerakan dari Kesenian Bantengan yang relatif mudah menjadikan Bantengan mudah dipelajari bahkan oleh anak-anak sekalipun yang tidak mempunyai latar belakang jiwa seni. Bantengan merupakan kesenian Asli Jawa Timur yang harus dijaga kelestarianya dan jangan sampai di geser oleh budaya-budaya barat.
Kesenian Bantengan di dalam perkembanganya memiliki berbagai fungsi bagi masyarakat. Pada zaman dahulu, kesenian Bantengan ditampilkan untuk ritual keagamaan Hindu-Budha, menjadi sarana dakwah di masa masuknya Islam, dan hinga saat ini Bantengan dijadikan seni yang berfungsi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat.
Pada umumnya masyarakat sekitar memberikan tanggapan yang positif terhadap kesenian Bantengan yang di lakukan oleh Pak Subero. Hal ini terbukti dari antusiasme masyarakat untuk menonton Kesenian Bantengan baik saat pertunjukan maupun hanya disaat latihan. Bahkan warga sekitar mengizinkan anaknya untuk berlatih kesenian bantengan ini. Namun ada pula yang menganggap bahwa kesenian Bantengan ini termasuk perbuatan menyekutukan tuhan, karena dalam kesenian Bantengan ini ada ritual pemanggilan dan peminta izinan terhadap arwah leluhur dengan menggunakan sesaji.
Untuk melanjutkan kelestarian kesenian Bantengan ini pak Subero mendirikan “Pedhet Jawa Timur” yang merupakan kelompok kesenian Bantengan khusus untuk anak-anak. Anggota dalam kelompok ini diajari bermain Bantengan yang nantinya juga dipentaskan. Selain mendirikan kelompok “Pedhet Jawa Timur”, pak Subero bersama teman-teman pecinta seni lainya juga merintis acara WTC (Wisata Tumpang Care), yakni sebuah event yang menjadi wadah untuk menampilkan berbagai kesenian khususnya yang ada di daerah Tumpang. Acara tahunan ini semata-mata didirikan sebagai upaya untuk melestarikan budaya asli daerah dan memperkenalkanya kepada dunia luar.
Agar kesenian Bantengan semakin diminati masyarakat, pak Subero menambahkan kreasi baru dalam kesenian Bantengan seperti memperindah aksesoris yang di pakai dan mengkolaborasikan penampilan Bantengan dengan seni tari, Jaran Kepang bahkan dengan kesenian Topeng agar tidak terkesan monoton dan membosankan.
Pak Subero berharap kepada generasi muda agar tetap melestarika budaya yang berupa kesenian Bantengan dan jangan sampai kesenian ini di geser dengan kebudayaan luar yang kurang mendidik. Beliau juga berharap kepada pemerintah agar lebih peduli dengan kelestarian budaya atau kesenian daerah.
D.    Kesimpulan
Kesenian Bantengan merupakan kesenian yang khas berada di Kecamtan Tumpang Kabupaten Malang. Pada zaman dahulu, kesenian Bantengan ditampilkan untuk ritual keagamaan Hindu-Budha, menjadi sarana dakwah di masa masuknya Islam, dan saat ini Bantengan dijadikan seni yang berfungsi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Adanya perubahan fungsi dan itu merupakan hasil adaptasi suatu budaya utuk dapat eksis mengikuti perkembangan dunia. Cara-cara dalam mengembangkan Kesenian ini patut untuk dijadikan sebuah contoh oleh kesenian lain  yang hampir tenggalam. Nilai moral yang terkadung dalam artikel ini yaitu kesenian itu tidak bisa dikaitkan dengan materi, agar dengan begitu secara tidak langsung kesenian tersebut dapat berkembang dengan sendirinya karena munculnya inovasi- inovasi untuk kreatifitas yang terjadi secara sepontan atau alami.




Lampiran Dokumentasi
Gambar 1.1
Keterangan: Ini merupakan foto bentuk bantengan, yang tanduknya merupakan tanduk banteng asli dan ini merupakan batengan jantan dan betina.







Gambar 1.2
Keterangan: Ini merupakan foto macanan yang selalu mengiringi bantengan, dan macanan ini 
biasanya membantu bantengan jika terjadi kesurupan dan menahannya bila kesurupannya sampai terlalu ganas.

Gambar 1.3
 
Keterangan: Ini merupakan foto yang menggambarkan proses kegiatan permainan Kesenian Bantengan.

Daftar Rujukan
Jenks, Chris. 2013. Culture Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rabu, 19 Juni 2013

SEJARAH GONG KYAI PRADAH DAN UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DI LODOYO KECAMATAN SUTOJAYAN KABUPATEN BLITAR

SEJARAH LOKAL

”SEJARAH GONG KYAI PRADAH DAN UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DI LODOYO KECAMATAN SUTOJAYAN KABUPATEN BLITAR”

ARTIKEL
disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Indonesia yang dibina oleh Bapak Dr. GM. Sukamto, M.Pd






Oleh:
Ali Sunarno
120741404075




UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
April 2013
SEJARAH GONG KYAI PRADAH DAN UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DI LODOYO KECAMATAN SUTOJAYAN KABUPATEN BLITAR

Ali Sunarno

Abstrak
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan tradisi lokal. Budaya yang melimpah ini dipegaruhi oleh peradaban zaman dahulu khususnya zaman kerajaan. Kerajaan-kerajaan tersebut mewariskan budaya yang sebagian masih dapat kita lihat higga saat ini baik berupa benda-benda maupun suatu tradisi. Pada saat ini, benda-benda dan tradisi peninggalan zaman dahulu tidak hanya digunakan untuk ritual saja tetapi terdapat pula aspek rekereasi dan pariwisata budaya. Di Kabupaten Blitar, khususnya di wilayah Lodoyo terdapat benda peninggalan zaman kerajaan berupa Gong  Kyai Pradah dan tradisi Siraman Gong Kyai Pradah yang masih dapat dilihat hingga saat ini. Dalam hal ini dibahas mengenai sejarah Gong Kyai Pradah, ritual upacara siraman Gong Kyai Pradah, serta makna tradisi siraman Gong Kyai Pradah bagi masyrakat.
Kata Kunci : Gong Kyai Pradah, Upacara Siraman, Lodoyo.

A.    Sejarah Gong Kyai Pradah
Tesebutlah dalam ceritera, kira kira pada tahun 1704-1717 Masehi di Surakarta, bertahtalah seorang raja yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuono 1. Raja ini mempunyai saudara ke-2 yang lahir dari Isteri Ampeyan ( bukan Permaisuri ) bernama Pangeran Prabu. Ketika Sri Susuhunan Pakubuwono I dinobatkan menjadi Raja, Pangeran Prabu sangat kecewa hatinya, karena sebenarnya ia berambisi pula menjadi raja. Maka dari itu ia berkeinginan untuk membunuh adiknya. Rencana ini telah diketahui oleh kakaknya sebelum dilaksanakan. Sebagai hukuman dari keinginannya itu, ia diharuskan pergi ke daerah Lodoyo untuk menebang hutan lebat ini untuk dijadikan daerah pedesaan. Suatu hal yang tidak mustahil bahwa hutan yang sangat lebat itu, pasti banyak binatang binatang buas dan banyak pula roh roh yang jahat yang bersarang disitu.
Inilah sebabnya pangeran prabu harus mendesakan daerah itu dengan maksud supaya pangeran prabu dimangsa oleh binatang binatang buas atau mati karena sebab yang lain. Pada waktu itu Lodoyo termasuk daerah yang gawat dan berbahaya dengan ungkapan kata “ Jalmo moro Jalmo mati “ ( siapa yang datang, berarti mencari kematian ). Tetapi sekarang tidak, justru ungkapannya “ jalmo moro, jalmo krasan “ ( siapa yang datang , akan hidup tentram).
Pangeran prabu yang merasa bersalah makar tehadap raja itu dengan rasa sedih berangkat melaksanakan sabda raja, dengan diiringi isteri tua benama Rr. Wandansari dan abdi yang setia pula, bernama Ki Amat Tariman. Ia membawa serta pusaka yang disebut Kyai Bicak, sebagai alat penawar keadaan daerah yang gawat ini, berupa GONG ( KEMPUL LIMO ).
Mereka berangkat dari Surakarta menuju ke arah timur. Perjalanan yang disertai kesedihan dan penderitaan itu sebagai pendorong kuat untuk segera datang ke tempat tujuan.Selang beberapa bulan dari keberangkatannya mereka datang ketempat itu. Pertama-tama meraka datang di rumah seorang janda bernama Nyi Partosuto di hutan Ngekul.
Pangeran Prabu hanya beberapa waktu saja berdiam disitru, karena kesedihan hatinya belum dapat disembuhkan. Untuk menghilangkan kesedihannya itu Ia berpendapat bahwa hanya Tuhan-lah kiranya yang bisa menyembuhkannya. Maka dari itu dengan terpaksa mereka meninggalkan si Janda Partosuto guna mencari ilham dari Tuhan. Sebelum mereka meninggalkan Ngekul, sudah membayangkan betapa sulitnya perjalanan yang harus ditempuhnya, maka Pusaka Kyai Becak terpaksa ditinggalkan di Janda Partosuto dengan Pesan :
1.      Tiap tanggal 1 syawal (bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri) dan tanggal 12 rabiul Awal  bertepatan dengan Kelahiran Nabi Muhammad SAW) Pusaka ini harus dimandikan dengan air jernih/suci dicampur dengan bunga rampai.
2.      Air Bekas untuk memandikan bisa digunakan untuk menyembuhkan penyakit serta bisa menentramkan hati, bagi siapapun yang meminumnya.
Pada suatu waktu berpisahlah Ki Amat Tariman dengan Pangeran Prabu yang menyebabkan kebingungannya untuk menemukan majikannya. Setelah habis daya dan upaya untuk mencarinya dan belum bersua juga maka Ki Amat Tariman dalam kebingangannya sempat memukul Gong Kyai Becak itu tujuh kali dengan maksud suara gaung Gong bisa terdengar oleh Pangeran Prabu. Wal hasil bukan Pangeran Prabu yang menyahuti suara Gong itu namun beberapa Harimau besar yang mendatanginya. Anehnya, harimau itu tidak mengganggu Ki Amat Tariman namun justru memberikan tanda bagi Ki Amat Tariman untuk mengikuti arah harimau itu berjalan. Dan akhirnya bertemulah Ki Amat Tarima dengan Pangeran Prabu. Maka semenjak itulah Gong Kyai Becak, disebut juga sebagai Kyai Macan atau Kyai Pradah.
Setelah itu mereka berangkat berjalan ke arah barat menuju Hutan Pakel. Dan disitulah Pangeran Prabu bertapa untuk mendapatkan Petunjuk dari Tuhan. Beberapa saat bertapa namun Pangeran Prabu tetap belum bisa menghilangkan kesedihannya, maka dilepaskanlah semua tanda kebangsawanannya berupa pakaian dan lain-lain dan ditinggalkan di pesanggraha Pakel. Tempat itu sampai sekarang masih dikeramatkan penduduk sekitarnya.
Mereka meningglakan Pakel menuju ke barat dan belum jauh perjalanan yang ditempuh di tengah jalan mereka bertemu dengan Prajurit utusan Kerajaan Surakarta. Perselisihan dan pertikaian tidak bisa dielakkan lagi dan akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Prabu. Meskipun demikian Pangeran Prabu tetap waspada dan berjaga-jaga di Bukit Gelung. Namun hari berganti hari bulan berganti bulan ternyata tidak ada lagi prajurit Surakarta yang datang. Mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Hutan Keluk (sekarang Desa itu dikenal dengan Desa Ngrejo, Lodoyo Barat). Di sebuah tempat di Desa ini Pangeran Prabu memangkas Rambutnya dan ditanamlah disitu Rambut bersama Mahkotanya. Tempat ini sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitar.
Perjalanan mereka diteruskan ke timur hingga sampailah di hutan Dawuhan. Disana ia membuka ladang pertanian dengan ditanami padi. Namun tidak berhasil dan gagal panen. Maka tempat itu dijuluki Gogo Wurung ( gogo artinya berladang/bertani dan Wurung berarti gagal).
Setelah itu perjalanan diteruskan dan sampailah mereka ke Hutan Darungan. Ada kejadian yang menyedihkan bagi Pangeran Prabu disini yaitu Istrinya Ki Wandansari yang tengah hamil tua melahirkan di sebuah bukit dan si Jabang bayinya wafat. Dia dikuburkan di tempat itu juga dan tempat itu akhirnya dijuluki Bukit Pandan. Tempat sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitar.
Perjalanan diteruskan ke timur menyusuri pinggiran sungai Brantas melalui Hutan Jegu, Gondanglegi, Tawangrejo dan beristirahat di Hutan Kaulon. Di tempat ini Pangeran Prabu beserta istri dan pengikut setianya mendirikan tempat untuk berteduh dari terik matahari dan hujan selama beberapa bulan. Di tempat ini pula Nyi Wandansari hamil dan akhirnya melahirkan 2 anak kembar. Kedua bayinya tidak berusia panjang dikarenakan tidak adanya alat untuk membantu saat persalinan anaknya sehingga bukit ini dijuluki Bukit Peranti. Bukit ini sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya.
Di desa inilah riwayat Pangeran Prabu berakhir dan tidak diketahui lagi kisah perjalanannya. Namun Janda Partosuto tetap melaksanakan pesan Pangeran Prabu untuk merawat Kyai Pradah. Sepeninggal Nyi Partosuto Pemeliharaan Gong Kyai Pradah diserahkan kepada :
1.      Ki Hadiboyo (di Desa Ngekul)
2.      Ki Dalang Redi Guno ( di Desa Kepek)
3.      Kyai Imam Suparno ( Karena beliau dipanggil ke Istana Surakarta maka Gong
diserahkan kepada adiknya)
4.      Kyai Imam Seco (adik Kyai Imam Suparno dari Desa Sukoanyar daerah yang
Ber rawa-rawa, sekarang disebut Surejo. Beliau menjabat sebagai Wakil Penghulu di Blitar hingga wafat tahun 1973.
5.      Raden Ronggo Kertarejo(di Desa Kalipang)
6.      ……
7.      Mbah Palil (di kelurahan Kalipang sampai saat ini)
Kyai Pradah yang berwujud Gong (kempul limo) dahulu dibalut dengan kain sutera Pelangi atau cinde dengan dikelilingi benda-benda pusaka lainnya. Hingga Sekarang Benda ini masih dirawat dan dimandikan sesuai Pesan Pangeran Prabu, yang disaksikan oleh ribuan pengunjung dan masyarakat yang masih mengkeramatkannya.

B.     Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
Upacara adat Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah merupakan salah satu bentuk budaya lokal di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Tradisi ini sampai sekarang masih tetap diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya, yaitu setahun dua kali di Lodoyo, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar. Hal ini karena masyarakat pendukungnya percaya bahwa tradisi ini masih bermanfaat dalam kehidupannya.
Pelaksanaan upacara adat siraman pusaka tersebut merupakan bentuk pemeliharaan secara tradisional benda peninggalan nenek moyang yang berupa Gong bernama Kyai Pradah, sehingga dengan pemeliharaan ini pusaka Gong Kyai Pradah akan tetap lestari.
Tradisi Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah dapat menambah rasa persatuan dan kegotongroyongan antar warga Lodoyo. Selain itu pelaksanaan tradisi tersebut juga dapat menambah pendapatan masyarakat setempat. Kegiatan ini menjadi salah satu aset wisata budaya di Lodoyo khususnya dan di Kabupaten Blitar pada umumnya.
Upacara adat siraman pusaka Gong Kyai Pradah banyak mengandung nilai-nilai budaya luhur warisan nenek moyang, oleh karena itu sebaiknya tradisi tersebut tetap dilestarikan dan diinternalisasikan kepada generasi muda supaya mereka tidak lepas dari akar budayanya.
Upacara siraman Gong Kyai Pradah dilaksanakan dua kali setahun, yaitu setiap tanggal 12 Robiul Awal bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad dan tanggal 1 Syawal bertepatan dengan hari Raya Idul Fitri. Khusus penyelenggaraan tanggal 12 Robiul Awal upacara diadakan secara besar-besaran, sedangkan upacara yang diadakan pada tanggal 1 Syawal dilaksanakan secara sederhana oleh petugas yang berkepentingan saja.
Pelaksanaan upacara siraman Kyai Pradah dipusatkan di alun-alun Kawedanan Lodoyo kecuali ziarah. Di lokasi tersebut perlengkapan upacara telah dipersiapkan secara permanen, yaitu: panggung siraman setinggi tiga meter dengan luas kurang lebih enam belas meter persegi, dan sanggar penyimpanan, serta pendopo kawedanan.
Sanggar penyimpanan adalah tempat penyimpanan Kyai Pradah beserta kenong dan wayang krucil, tempat dimana para pengunjung menyampaikan hajadnya pada hari-hari biasa. Pada saat upacara, sanggar penyimpanan digunakan untuk tirakatan dan selamatan.
Adapun panggung siraman adalah tempat untuk melaksanakan acara puncak yaitu siraman gong Kyai Pradah; pendopo kawedanan pada saat upacara digunakan sebagai tempat duduk para undangan, acara selamatan, dan tempat hiburan. Ziarah dilakukan di patilasan yang terletak di Dukuh Dadapan, Kecamatan Sutojayan.
Penyelenggaraan upacara siraman pada mulanya dilakukan secara spontan oleh warga masyarakat dengan dikoordinasi para kepala desa di Kecamatan Sutojayan. Namun sekarang penyelenggaraan upacara dikoordinasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Blitar. Tokoh-tokoh yang berperan sebagai penyelenggara teknis upacara adalah sebagai berikut.
a.       Pejabat Pemerintah. Pada upaeara yang dilaksanakan pada tanggal 12 Robiul Awal sebagai penanggung jawab formal pelaksana upacara adalah Bupati Blitar, sedangkan pada upaeara 1 Syawal tokoh yang berperan adalah Pembantu Bupati Lodoyo.
b.      Juru kunci, yaitu juru kunci petilasan dan juru kunci Kyai Pradah.
c.       Para dhalang yang bertempat tinggal di Lodoyo, bertugas membawa kenong dan wayang krucil.
d.      Petugas pembawa panji-panji Kawedanan Lodoyo dan paying
e.       Pemain kesenian tradisional.
f.       Pemasak sesaji.
Siraman dimulai dengan pembacaan riwayat Kyai Pradah oleh Bapak Bupati yang diwakilkan pada salah satu petugas. Pembacaan dilakukan dengan mikrofon sehingga para pengunjung mendengar dengan jelas.
Selesai pembacaan riwayat dimulailah puncak acara siraman. Siraman pertama kali dilakukan oleh Bapak Bupati, dilanjutkan Bapak Pembantu Bupati, pejabat Muspika, juru kunci dan para dhalang. Kyai Pradah kemudian digosok-gosok dengan kembang setaman agar hilang karatarinya. Kembang setaman kemudian dipercik-percikkan ketujuh tempayan yang telah diisi air.
Setelah Kyai Pradah selesai disirami, maka Bapak Bupati segera mengguyurkan air yang ditempayam ke para pengunjung yang berdesak-desakan di bawah panggung siraman sampai habis. Demikian halnya yang di atas panggung pun saling berebut mendapatkan air bekas siraman karena ir bekas siraman dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, tolak balak bahkan membantu orang yang belum dapat jodoh.


             
       Prosesi Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.                    Warga berebut air bekas siraman Gong Kyai Pradah.



DAFTAR RUJUKAN

Setiawan, Hengky Ismuhendro dan Subiyatningsih, Foriyani. 2011. Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. (Online), (http://Upacara Siraman Gong Kyai Pradah_Pusaka Jawatimuran.htm), diakses pada 15 April 2013.