KETAHANAN PANGAN NASIONAL
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Pendidikan Kewarganegaraan
Yang dibina oleh Bapak Drs. Marsudi, M.Hum
Oleh:
1)
Ali
Sunarno (120741404075)
2)
M
Rifki (110731435615)
3)
Mutiara
Maharani (120741421181)
4)
Putri
Yulia Cahyono (120741421208)
5)
Arif
Hidayat (120741421218)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Maret
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan basis utama
dalam wewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan.
Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan,
distribusi dan konsumsi.
Indonesia memiliki
jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, yang diperkirakan mencapai 250 juta
jiwa pada tahun 2015. Ketahanan pangan nasional menjadi sangat penting dan
perlu mendapat prioritas penanganan dalam program pembangunan nasional.
Saat ini kondisi yang
mengkhawatirkan tentang masalah ketahanan pangan adalah Pertama, mulai dari ketergantungan konsumsi
beras dalam pola konsumsi pangan yang masih tinggi (konsumsi beras kita 139,15
kg/kapita/tahun). Tapi sebenarnya Indonesia
berlimpah sumber pangan. Negeri ini setidaknya memiliki 77 jenis sumber
karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 buah-buahan, 75 sumber lemak dan 232
jenis sayuran. Sayangnya, sebagian pangan malah masih dipenuhi dari impor,
khusunya beras yang p[ada tahun 2012 masih impor sebesar 1,95 juta ton.
Kedua,
laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, sehingga menambah kebutuhan pangan
nasional. Selain itu hal ini akan mempengaruhi kebutuhan
permukiman yang semakin lama semakin marak dibangun. Akibatnya, ruang terbuka hijau
dan lahan pertanian untuk produksi bahan pangan berkurang karena konversi lahan
menjadi permukiman dan lapangan kerja non pertanian.
Ketiga,
jumlah penduduk rawan pangan masih relative tinggi ,yakni +/- 13% dari total
penduduk. Permasalahan ini mengakibatkan kasus kurang gizi
(gizi buruk) yang disebabkan oleh minimnya kualitas dan kuantitas pangan yang
tersedia. Di Indonesia, gizi buruk masih menjadi momok yang terus menggerogoti
generasi penerus bangsa khususnya di beberapa daerah pelosok dan terpencil.
Pada 2011 penderita gizi buruk di Indonesia bahkan mencapai angka 4,9 persen
(Bappenas). Oleh karena itu makalah ini akan membahas ketahanan pangan
nasional, masalah yang dihadapi berikut solusi yang ditawarkan untuk masalah
ketahanan pangan nasional.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah di kemukakan diatas, muncul beberapa rumusan masalah yang
menarik untuk dikaji yaitu sebagai berikut.
1. Apa
hakikat ketahanan pangan
2. Bagaimana
kondisi ketahanan pangan di Indonesia.
3. Apa
masalah yang muncul dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
4. Bagaimana
solusi pemecahan masalah dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, dapat diketahui bahwa tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut
1. Mengetahui
hakikat ketahanan pangan
2. Mengetahui
kondisi ketahanan pangan di Indonesia.
3. Mengetahui
masalah yang muncul dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
4. Mengetahui
solusi pemecahan masalah dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Hakikat Ketahanan Pangan
Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pasal 1 ayat
4, menyebutkan
”Ketahanan Pangan
adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.”
Dari
perspektif sejarah istilah ketahanan pangan (food security) dalam kebijakan
pangan dunia pertama kali digunakan tahun 1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia
terutama negara-negara berkembang dari krisis produksi dan suply maknan pokok.
Jadi dapat dikatakan bahwa munculnya ketahanan pangan karena terjadi krisis
pangan dan kelaparan.
Fokus ketahanan pada
masa itu menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dan membebaskan daerah
dari krisis pangan yang nampak pada definisi ketahanan pangan oleh PBB sebagai
berikut: “food security is availability to avoid acute food shortage in the
even of wide spread coop vailure or other disaster” (syarif, Hidayat,
Hardinsyah dan Sumali, 1999).
Selanjutnya definisi
tersebut disempurnakan pada International Conference of Nutrition 1992 yang
disepakati oleh pimpinan negara anggota PBB sebagai berikut: Ketahanan pangan
adalah tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang baik dalam
jumlah dan mutu pada setip saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Di Indonesia,
secara formal dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional, istilah kebijakan
dan program ketahanan pangan di adop sejak 1992 (Repelita VI) yang definisi
formalnya dicantumkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
pasal 1 angka 17 menyatakan bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Pengembangan
ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena
(Maleha dan Susanto):
- akses
terhadap pangan dengan gizi seimbang merupakan hak yang paling azasi bagi
manusia
- keberhasilan
dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh
keberhasilan pemenuhan kecukupan konsumsi pangan dan gizi
- ketahanan
pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi
dan ketahanan nasional yang berkelanjutan.
Dapat dikatakan
ketahanan pangan merupakan konsentrasi untuk mewujudkan akses setiap individu
untuk memperoleh pangan yang bergizi. Dalam ketahanan pangan terdapat 3 (tiga)
komponen penting pembentukan ketahanan pangan yaitu: produksi dan ketersediaan
pangan, jaminan akses terhadap pangan, serta mutu dan keamanan pangan.
Berdasarkan definisi
ketahanan pangan dalam UU RI No. 7 tahun 1996 yang mengadopsi FAO (Food
Association Organization) , didapat 4 komponen yang harus dipenuhi untuk
mencapai kondisi ketahan pangan yaitu:
- kecukupan
ketersediaan pangan
- stabilitas
ketersediaan pangan
- fluktuasi dari
musim ke musim atau dari tahun ke tahun
- aksesibilitas/keterjangkauan
terhadap pangan serta
- kualitas/keamanan
pangan
Pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/ atau pembuatan makanan atau
minuman.
2.2.
Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia
Indonesia
berlimpah sumber pangan. Negeri ini setidaknya memiliki 77 jenis sumber
karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 buah-buahan, 75 sumber lemak dan 232
jenis sayuran. Sayangnya, sebagian pangan malah masih dipenuhi dari impor
Kondisi di lapangan, komoditas-komoditas unggulan pangan
nasional tahun 2012 sebagian besar masih tergantung impor. Sebut saja, impor
beras 1,95 juta ton, jagung 2 juta ton, kedelai 1,9 juta ton, dan gandum 7 juta
ton. Lalu, daging sapi setara 900 ribu ekor, ayam indukan 900 ribu ekor, gula
3,06 juta ton dan teh US$11 juta. Termasuk garam, ikan, susu, buah-buahan
dan sayuran.
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa
Sejahtera (ADS) bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2012
mengatakan, hingga saat ini, kebijakan mengatasi masalah pangan selalu
mengambil jalan pintas dengan impor. Padahal, negeri ini menyediakan sumber
pangan melimpah. “Keragaman hayati menyediakan sumber
pangan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang dapat mencukupi
kehidupan rakyat,” katanya di Jakarta.
Keadaan tambah parah
kala keragaman produk pangan rakyat, dialihkan ke monokultur. Achmad Surambo,
Koordinator Pokja Sawit ADS, merasa aneh saat sumber pangan yang beraneka ragam
malah diseragamkan secara membabi buta. “Antara lain diubah menjadi deretan
perkebunan sawit, lebih dari 80 persen untuk ekspor.”
Lahan-lahan
pertanian pangan dan hutan, sebelumnya menyediakan berbagai jenis umbi, sagu,
sukun juga berbagai sumber protein, perlahan dihilangkan. “Pola makan
masyarakat sekitar berubah, sebagian besar pangan harus dibeli dari wilayah
jauh, karena sudah tidak bisa lagi ditemukan di lingkungan sekitar,” ucap
Surambo.
Abdul Halim,
Koordinator Pokja Perikanan pun angkat bicara. Dia mendesak, pengelolaan sumber
protein laut yang berkelanjutan dan berkeadilan. Kini, sumber protein melimpah
di laut Indonesia malah tidak bisa dinikmati rakyat. “Pencurian ikan,
pembatasan akses masih berjalan, menyebabkan protein dari laut sulit dicari.”
Dampak
perubahan iklim pun harus segera diantisipasi cerdas .“Bukan hanya mengiyakan
berbagai tawaran benih atau teknologi dari luar yang lagi-lagi hanya
menciptakan ketergantungan. Tetapi melihat apa yang sudah dimiliki,
mengembangkan dan menggunakan sesuai kebutuhan,” ucap Tejo. Selain itu,
masyarakat perlu diajak mengenal kembali kekayaan pangan dan mengkonsumsi
sehari-hari.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah
satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya
kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan
memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli,
masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang
terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras,
kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan
serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih ketergantungan terhadap
import pangan.
Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari
penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori
perkapita/hari. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kecukupan kalori, di
samping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh
kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis
kemiskinan.
2.3.
Masalah Ketahanan Pangan
Masalah
utama yang masih dihadapi dalam hal ketahanan pangan nasional antara lain :
a. Ketergantungan
konsumsi beras dan kecenderungan konsumsi terigu masih cukup tinggi, serta
belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal untuk konsumsi pangan harian.
b. Masih
rendahnya kualitas dan kuantitas pola konsumsi pangan penduduk, karena
pengetahuan, budaya dan kebiasaan makan masyarakat kurang mendukung konsumsi
pangan beragam, bergizi seimbang dan aman.
c. Belum
berkembangnya industri pangan berbasis bahan pangan lokal yang mendukung
penganekaragaman konsumsi pangan.
d. Masih
terjadinya kasus keracunan akibat penggunaan bahan kimia berbahaya pada makanan
sehingga menimbulkan rendahnya ketahanan pangan masyarakat.
e. Belum
memadainya prasarana dan sarana transportasi baik darat dan terlebih antar
pulau, sehingga meningkatkan biaya distribusi pangan.
f. Cadangan
pangan pemerintah masih terbatas (hanya beras dan dikelola oleh pemerintah
pusat), sementara cadangan pemerintah daerah dan masyarakat belum berkembang
termasuk belum optimalnya pemanfaatan dan pengelolaan lumbung pangan.
g. Kemampuan
ketahanan pangan masyarakat dalam pemenuhan ketersediaan pangan dan akses
pangan masih rendah.
h. Perubahan
iklim global tidak dapat dihindari dan dapat mempengaruhi produksi, distribusi,
cadangan dan harga.
i.
Jumlah penduduk rawan pangan masih cukup besar,
meskipun telah menunjukkan trend yang menurun.
Menurut
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam sambutannya pada kegiatan Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi ke X tahun 2012 di Jakarta, Ketahanan pangan nasional
kerapkali menghadapi tantangan yang tidak ringan, baik dari lingkungan dalam
negeri maupun lingkungan global. “Di lingkungan dalam negeri, kita masih
menghadapi banyak tantangan seperti dalam hal penyediaan lahan pertanian
produktif, penyediaan infrastruktur pertanian yang memadai, stabilisasi harga
pangan dalam negeri, distribusi pangan yang merata dalam lingkup wilayah
geografis yang luas, dan menjamin sistem produksi pangan yang tahan terhadap
gangguan bencana alam,” kata dia.
Sedangkan di
lingkungan global diwarnai perubahan iklim yang sangat drastis, konflik
pemanfaatan global terhadap sumberdaya pertanian bagi penyediaan pangan, pakan,
dan energi, semakin protektifnya negara maju terhadap produk pangan dan sektor
pertanian serta format perdagangan bebas melalui WTO yang tidak adil.
Menurut dia,
kondisi global tersebut telah menganggu kapasitas produksi pertanian dan
pertumbuhan harga pangan sehingga terjadi kenaikan harga pada beberapa
komoditas. “Persoalan ini dapat diatasi dengan meningkatkan ketahanan pangan
kita,” ujarnya. (www.SEHATNEWS.com)
Dalam
mewujudkan ketahanan pangan nasional sangat erat kaitanya dengan pembangunan
pertanian. Dalam hal ini sedikitnya terdapat lima masalah yang dihadapi dalam
pembangunan pertanian yaitu
Masalah
Pertama yaitu penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan
pertanian. Dari segi kualitas, faktanya lahan dan pertanian kita sudah
mengalami degradasi yang luar biasa, dari sisi kesuburannya akibat dari
pemakaian pupuk an-organik. Berdasarkan Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka
Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi mengalami penurunan
produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai 65,76 juta ton dan
lebih rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton
pipilan kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar
851,29 ribu ton biji kering atau 4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010,
sedangkan kebutuhan pangan selalu meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk
Indonesia.
Berbagai
hasil riset mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di
Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan mengalami
degradasi lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah yaitu
kecil dari 2 persen. Padahal, untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan
kandungan C-organik lebih dari 2,5 persen atau kandungan bahan organik tanah
> 4,3 persen. Berdasarkan kandungan C-organik tanah/lahan pertanian tersebut
menunjukkan lahan sawah intensif di Jawa dan di luar Jawa tidak sehat lagi
tanpa diimbangi pupuk organik dan pupuk hayati, bahkan pada lahan kering yang
ditanami palawija dan sayur-sayuran di daerah dataran tinggi di berbagai
daerah. Sementara itu, dari sisi kuantitasnya konfeksi lahan di daerah Jawa
memiliki kultur dimana orang tua akan memberikan pembagian lahan kepada anaknya
turun temurun, sehingga terus terjadi penciutan luas lahan pertanian yang
beralih fungsi menjadi lahan bangunan dan industri.
Masalah
kedua yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan
infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah
pembangunan dan pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di
Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal
dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari non-waduk. Karena
itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak hanya
untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi
nasional. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk
saat ini dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau.
Sepuluh waduk telah kering, sementara 19 waduk masih berstatus normal. Selain
itu masih rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah
untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab
infrastruktur pertanian menjadi buruk.
Masalah
ketiga adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama
pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan
yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk
pertanian kita baik komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan,
perkebunan dan peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas
dengan kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan
mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan
teknologi standar. Indonesia menghadapi persaingan yang keras dan tajam tidak
hanya di dunia tetapi bahkan di kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi
dapat diadopsi dan diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber
teknologi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan
kondisi lahan pertanian di tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut
harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan
ke dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah
penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan
petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga
dibutuhkan untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi
teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan mekanisasi
pertanian
Masalah
keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha terutama di permodalan.
Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas sehingga
produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Mengingat
keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya aksesibilitas
terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangkan dan
mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (low cost
production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan
pasca panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung kepada para
petani sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya,
pemerintah telah menyediakan anggaran sampai 20 Triliun untuk bisa diserap
melalui tim Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang Pangan
dan Energi.
Masalah
kelima adalah masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian,
sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena
pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan.
Pada dasarnya komoditas
pertanian itu memiliki beberapa sifat khusus, baik untuk hasil pertanian itu
sendiri, untuk sifat dari konsumen dan juga untuk sifat dari kegiatan usaha
tani tersebut, sehingga dalam melakukan kegiatan usaha tani diharapkan dapat
dilakukan dengan seefektif dan seefisien mungkin, dengan memanfaatkan lembaga
pemasaran baik untuk pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahannya.
Terlepas dari masalah-masalah tersebut, tentu saja sektor pertanian masih saja
menjadi tumpuan harapan, tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan
nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan
masyarakat dan penyumbang devisa bagi negara.(Kabid Ketahanan Pangan
dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT))
2.4.
Solusi Pemecahan Masalah dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional.
Mewujudkan
ketahanan pangan merupakan agenda yang harus medapat sorotan serius dan perlu
upaya nyata dari pemerintah. Dalam bagian sambutannya saat membuka Seminar dan
Pameran Ketahanan Pangan 2012 di JCC, Selasa (7/2) siang, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengatakan "Kita terus mengembangkan program prorakyat,
termasuk beras untuk rakyat miskin, jaminan kesehatan untuk rakyat
miskin," Menurut SBY, semua itu dilaksanakan agar penduduk dengan
penghasilan pas-pasan dapat mengarahkan penghasilannya untuk membeli beras dan
bahan pangan lain untuk mencukupi gizinya. "Ini harus dijalankan dan
sukses," tegasnya.
Kedua,
produksi pangan juga harus terus ditingkatkan. Dengan keterbatasan untuk terus
menerus memperluas lahan, maka peranan teknologi amat diperlukan. "Kalau
hal ini bisa dilakukan, maka di tahun-tahun mendatang kita akan memiliki
kemandirian pangan dalam arti cukup untuk rakyat dan kemudian disalurkan ke
dunia sehingga dapat meningkatkan perekonomian kita," SBY menjelaskan.
Ketiga,
Presiden juga meminta agar memastikan komoditas pangan tersedia dengan harga
terjangkau dan stabil. "Mari perbaiki sistem logistik dan infrastruktur
kita," ujar SBY.
Keempat,
terus pantau perkembangan pada tingkat global. Menurut Presiden, hal ini tentu
tidak bisa dikerjakan sendiri, dibutuhkan kerjasama dengan negara-negara
sahabat dan organisasi dunia lainnya.
Kepala Negara
berharap apabila ada perubahan kebijakan dari negara-negara yang mengekspor
bahan pangan, agar dikoordinasikan dengan baik. "Misalnya negara pengekspor
beras yang merubah kebijakan, baiknya ada koordinasi. Dengan demikian tidak
akan menghadapi masalah," SBY menekankan.
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Program Kerja Dan
Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2012, solusi yang ditawarkan dalam mengatasi
masalah ketahanan pangan nasional adalah
a. Pengembangan Desa Mandiri Pangan :
meningkatnya kemampuan ketahanan pangan masyarakat dan pemerintah melalui
pengembangan Desa Mandiri Pangan di 2.989 desa rawan pangan pada 410
Kabupaten/Kota; serta pelaksanaan peningkatan kesejahteraan petani kecil atau Smallholder
Livelihood Development Programme in Eastren Indonesia (SOLID) pada 6
kabupaten di Provinsi Maluku dan 5 kabupaten di Propinsi Maluku Utara.
b. Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat
(Penguatan LDPM) : meningkatnya kemampuan gapoktan
sebanyak 1.265 gapoktan di 27 Provinsi dalam rangka stabilisasi harga pangan
dan penguatan cadangan pangan gapoktan di daerah sentra produksi pangan.
c. Pemberdayaan Lumbung Pangan Masyarakat :
meningkatnya kemampuan pengelola kelompok lumbung dalam menangani cadangan
pangan masyarakat pada 1.040 lumbung pangan di pedesaan.
d. Penanganan Daerah Rawan Pangan :
tertanganinya kerawanan pangan di 410 Kabupaten/Kota pada 33 Provinsi.
e. Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) :
terselenggaranya Gerakan (Penyuluhan dan Penyebaran Informasi) P2KP melalui :
pemberdayaan kelompok wanita melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan
termasuk pengembangan kebun bibit di 5.990 desa; pengembangan pangan lokal
melalui peningkatan pengolahan tepung-tepungan dan pangkin bagi kelompok usaha
pangan skala rumah tangga di 363 kabupaten/kota; sosialisasi dan promosi P2KP
pada 390 kabupaten/kota dan 33 provinsi; dan pengembangan kawasan diversifikasi
pangan 33 kabupaten/kota dan 33 provinsi.
f. Penanganan dan Pengembangan Kesadaran Keamanan
Pangan Segar : terwujudnya peningkatan kepedulian dan kesadaran
masyarakat (produsen dan konsumen) terhadap keamanan pangan segar di seluruh
propinsi dan 100 kabupaten sasaran penanganan keamanan pangan.
g. Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID)
dalam rangka pemantapan ketahanan pangan keluarga
h. Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan :
(1) terselenggaranya koordinasi dan keterpaduan pengelolaan ketahanan pangan
oleh pemerintah bersama masyarakat pada 33 Provinsi, (2) pemberian penghargaan
ketahanan pangan; serta (3) terlaksananya rumusan kebijakan ketahanan pangan
bagi komoditas strategis melalui Dewan Ketahanan Pangan di tingkat Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Selain
itu Strategi Badan Ketahanan Pangan
Terkait Ketersediaan Pangan melakukan langkah-langkah operasional diantaranya
a.
Mendorong kemandirian pangan
melalui swasembada pangan untuk komoditas strategis (beras, jagung, kedelai,
gula, daging sapi);
Swasembada beras
merupakan target utama mengingat ketergantungan akan beras penduduk Indonesia
sangat tinggi. Adapun upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam menciptakan
swasembada beras yaitu: (1)Penyediaan pupuk (subsidi dan non-subsidi): urea
35,15 juta ton, SP-36 22,23 juta ton, ZA 6,29 juta ton, KCL 13,18 juta ton, NPK
45,99 juta, dan organik 53,09 ton. (2) Subsidi: pupuk, benih/bibit dan
kredit/bunga.(3) Perluasan lahan baru-baru 2 juta ha untuk tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, hijauan makanan ternak dan padang penggebalaan (4)
Investasi pemerintah dan swasta di bidang pertanian
b.
Meningkatkan keragaman
produksi pangan berdasarkan potensi sumberdaya lokal/wilayah;
c.
Pemberdayaan masyarakat di
daerah rawan pangan melalui pengembangan desa mandiri pangan;
d.
Pemberdayaan lumbung pangan
masyarakat di daerah rawan pangan;
e.
Penanganan Daerah Rawan
Pangan (PDRP) melalui Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan Gizi (SKPG) untuk
penanganan kerawanan pangan kronis.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Ketahanan pangan merupakan basis utama
dalam wewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan.
Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari subsistem
ketersediaan, distribusi dan konsumsi.
Indonesia
merupakan negara dengan jumlah penduduk yang banyak menyebabkan kebutuhan akan
sumber pangan juga melimpah. Dari sini timbul berbagai masalah dalam hal
ketersediaan pangan nasional meskipun di Indonesia banyak ragam sumber pangan
tersedia, namun hal ini belum mampu digunakan secara optimal. Hal ini
mengakibatkan Indonesia masih membutuhkan produk impor untuk memenuhi kebutuhan
penduduknya, seperti
beras, jagung, kedelai, gandum, daging sapi, ayam indukan, gula, teh, garam,
ikan, susu, buah-buahan dan sayuran
Masalah utama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional
yaitu ketergantungan
konsumsi beras, masih rendahnya kualitas dan kuantitas pola konsumsi pangan
penduduk, belum berkembangnya penganekaragaman konsumsi pangan, belum
memadainya prasarana dan sarana transportasi, cadangan pangan pemerintah masih
terbatas, kemampuan ketahanan pangan masyarakat dalam pemenuhan ketersediaan
pangan dan akses pangan masih rendah, Perubahan iklim global dapat mempengaruhi
produksi, distribusi, cadangan dan harga, jumlah penduduk rawan pangan masih
cukup besar.
Dari berbagai masalah ketahanan pangan diatas
pemerintah dan masyarakat berupaya mencari solusi dengan pengembangan desa mandiri pangan, penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat (penguatan LDPM),
pemberdayaan lumbung pangan masyarakat, penanganan daerah rawan pangan,
percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP), penanganan dan pengembangan
kesadaran keamanan pangan segar, peningkatan kesejahteraan petani kecil, penguatan
kelembagaan ketahanan pangan.
.
DAFTAR RUJUKAN
Kepala Badan Ketahanan
Pangan. 2012. Pedoman Pelaksanaan Program Kerja Dan Anggaran Badan Ketahanan Pangan
Tahun 2012. Jakarta. Badan
Ketahanan Pangan Nasional.
www.hukumonline.com. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2012 Tentang Pangan.