Halaman

Jumat, 31 Mei 2013

UPAYA MENCEGAH KORUPSI DENGAN PEMBATASAN DANA MAKSIMAL KAMPANYE

UPAYA MENCEGAH KORUPSI DENGAN PEMBATASAN DANA MAKSIMAL KAMPANYE

Ali Sunarno*
*Mahasiswa Universitas Negeri Malang Prodi Pendidikan IPS Tahun 2012
 Email : alisunarno2905@gmail.com
Abstrak
Rendahnya pendapatan penyelenggara negara merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya korupsi. Sebab, hal ini berhubungan dengan pengembalian modal saat kampanye, baik untuk 'money politics’ maupun lainnya. Padahal, gaji pokok dan tunjangan untuk kebutuhan hidup pejabat masih belum seimbang dengan pengeluaran setiap bulan, apalagi pejabat yang terpilih dengan jalan pintas: money politics. Dengan demikian, korupsi di negeri ini seperti hilang satu tumbuh seribu meskipun kinerja komisi pemberantasan korupsi sudah mati-matian memberantas-nya. Untuk itu, pembatasan dana maksimal untuk kampanye sangat tepat digunakan untuk solusi permasalahan ini, karena dengan adanya pembatasan ini, maka para calon tidak akan mengeluarkan modal kampanye banyak, sehingga sangat sedikit kemungkinan untuk mengembalikan modal dengan korupsi.
Kata Kunci: pencegahan korupsi, dana kampanye, biaya politik

Korupsi merupakan hal yang paling menarik untuk dijadikan sebagai jalan pintas dalam mengembalikan modal saat pemilu (modal kampanye). Di negeri ini yang namanya korupsi sudah dijadikan sebuah hobi, bahkan sudah menjamur dan membudaya, baik di tingkat daerah maupun pusat. Hal ini merupakan salah satu indikator degradasi moral para pejabat bangsa ini, sehingga muncul pertanyaan besar: apakah korupsi ini disebabkan pelaksanaan demokrasi yang kurang dewasa bangsa ini yang selalu mengedepankan uang untuk meraih kekuasaan (tahta).
Rendahnya pendapatan penyelenggara negara berpeluang besar mengakibatkan tindak korupsi. Sebab hal ini berkaitan dengan pengembalian modal kampanye yang sangat tinggi.. Padahal, gaji pokok dan tunjangan untuk kebutuhan hidup pejabat masih belum seimbang dengan jumlah pengeluaran pada saat kampanye , apalagi pejabat yang terpilih dengan jalan pintas: money politics. Hal ini dapat dianalogikan dengan gaji seorang Walikota sebesar Rp 12 juta perbulan, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk kampanye sebesar Rp 6 milyar dengan masa jabatan 5 tahun (60 bulan). Jumlah total yang diterima selama menjabat sebagai Walikota adalah Rp 720 juta. padahal modal yang dikeluarkan untuk kampanye sebesar 6 milyar, sehingga hal ini rawan untuk mencari jalan pintas, yaitu korupsi.
Dari gambaran di atas terlihat adanya degradasi moral para pejabat yang berujung pada tindakan korupsi yang digunakan sebagai jalan pintas untuk mengembalikan modal kampanye saat pemilu, sehingga pembatasan dana kampanye sangat strategis untuk mencegah terjadinya korupsi tersebut. Untuk itu, tulisan ini bertujuan untuk melakukan tinjauan terhadap langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh dalam melakukan pencegahan korupsi melalui pembatasan dana maksimal kampanye guna menciptakan pemerintah yang bersih.

UPAYA MENCEGAH KORUPSI DENGAN PEMBATASAN DANA MAKSIMAL KAMPANYE
Kenyataan  membuktikan bahwa para pejabat bangsa ini seringkali terlibat dengan tindakan korupsi, bahkan tidak sedikit juga yang masuk penjara karena hal ini. Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya pendapatan penyelenggara Negara, karena hal ini ada hubungannya dengan pengembalian modal saat kampenye, yaitu saat sebelum menjadi pejabat.
Hal tersebut dapat dicontohkan dengan penyelenggaraan Pilkada Kota Malang pada tahun 2013 ini. Dari data yang dirilis MCW (Malang Corruption Watch), dana kampanye minimal yang dikeluarkan para calon adalah Rp 6. 469.476.500. Biaya ini meliputi pembuatan baliho, kaus, mobil kampanye, stikerisasi, poster, biaya pertemuan warga, konsultan, biaya tim sukses dan saksi di TPS. (Surya, 13 Maret 2013)
Hayyi Ali, Koordinator Pendidikan Pemilih dan Pemantau Pilkada Kota Malang, merinci bahwa angka biaya tersebut berdasar hitungan minimal dari 57 kelurahan di Kota Malang. Untuk pembuatan baliho para calon menghabiskan uang Rp 1.643.880.000. Hitungannya setiap kelurahan mereka memasang 200 baliho ukuran 50 cm x 100 cm dan dua baliho ukuran 7 m x 3 m. Biaya pembuatan kaus mencapai Rp 2,8 milyar. Angka ini diambil dari 350.000 kaus yang dibuat seharga Rp 8.000 per buah. Biaya pertemuan warga dengan asumsi dua pertemuan per kelurahan, sehingga total ada 114 pertemuan. Setiap pertemuan membutuhkan biaya Rp 4 juta dan ketemu angka Rp 456 juta. Dana politik ini akan semakin menggelembung jika setiap calon menggunakan praktik kotor money politics. Money politics ini bisa berupa pemberian uang atau baran
Biaya politik yang begitu besar tidak sebanding dengan gaji walikota saat menjabat nanti. Berdasar hitungan MCW gaji Walikota Malang per bulan sekitar Rp 12.189.925. Koordinator Malang Corruption Watch (MCW), Didit Sholeh menjelaskan, gaji wali kota senilai Rp 12 juta lebih itu terdiri dari gaji pokok Rp 3.900.000; tunjangan keluarga Rp 426.000; tunjangan jabatan Rp 7.020.000; tunjangan beras Rp 282.800; dan tunjangan PPh/khusus Rp 561.125. (Kompas, 13 Maret 2013)
Bila dihitung dengan gaji Walikota sebesar Rp 12.189.925 perbulan, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk kampanye sebesar Rp 6.469.476.500 dengan masa jabatan 5 tahun (60 bulan). Jumlah total yang diterima selama menjabat sebagai Walikota adalah Rp 731.395.500. padahal modal yang dikeluarkan untuk kampanye sebesar 6 milyar lebih, sehingga hal ini rawan untuk mencari jalan pintas, yaitu korupsi. Sebab, jumlah itu masih belum seimbang dengan jumlah modal yang dikeluarkan saat kampanye dan jumlah tersebut dipotong keperluan rumah tangga yang ‘tidak terduga’ lainnya.
Pada tahun 2002 pemerintah membentuk lembaga independen yang khusus menangani masalah tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, kinerja yang dilakukan lembaga ini masih sebatas memberantas, belum bisa melakukan pencegahan secara maksimal. Sehingga masih banyak para koruptor yang belum disentuhnya. Survei membuktikan bahwa hanya sebagian kecil para mantan pejabat atau pejabat aktif yang terjerat kasus korupsi, baik masih dalam tahap tersangka maupun sudah terdakwa. Hal ini sangat wajar, karena para pejabat juga perlu mengembalikan uang modal kampanyenya saat pemilu. Untuk itu, pembatasan maksimal dana kampanye sangat cocok jika diterapkan untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi
            Untuk pembatasan maksimal dana kampanye dapat dilakukan dengan langkah pertama yaitu  KPU menetapkan peraturan terkait mekanisme laporan, strandarisasi dan teknis pengaturan dana kampanye. Selain itu dapat dilakukan dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang masih digarap oleh Komisi II DPR RI. Dalam RUU ini diatur dana maksimal yang diperbolehkan untuk setiap calon yang maju dalam Pilkada.
            Kedua, diperlukan tim pengawas yang independen yang bertugas mengawasi dan mengontrol jalanya pemilu khususnya mengawasi dan melaporkan penggunaan keuangan atau dana kampanye setiap kandidat yang ikut dalam pemilu. Tim pengawas ini bisa diambil dari KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi) ataupun LSM seperti ICW (Indonesia Corruption Watch).
            Ketiga, mengumpulkan arus keuangan. Dalam hal ini masing-masing calon atau yang mewakilinya mengumpulkan arus penggunaan keuangan kampanye dengan didukung bukti kepada team pengawas, lalu pengawas menganalisanya lalu menyerahkan laporan tersebut kepada KPU. Dan apabila ada keganjalan dalam laporan tersebut maka pengawas bisa langsung melaporkan kepada KPU, lalu KPU menindak lanjutinya.
            Dengan penerapan gagasan diatas setiap kandidat dari peserta pemilu memiliki jumlah dana kampanye yang sama serta transparasi keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga tercipta keadilan dan menghentikan praktik politik plutokrasi, yakni calon atau tokoh-tokoh yang beruang saja yang akan terpilih dan dikenal masyarakat. Namun dalam hal ini KPU harus menyiapkan ruang publik sebagai saran kampanye bagi semua kandidat peserta pemilu. Hal ini bertujuan agar dapat menghemat dana kampanye yang telah di tetapkan dan menciptakan keadilan berkampanye.
            Penyediaan ruang publik dapat dilakukan dengan menyediakan waktu dan ruang di televisi secara gratis yang disiarkan secara bersamaan dan serentak di semua stasiun televisi. Dengan disediakan wadah di televisi, setiap kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk mempromosikan dirinya dan mengurangi biaya kampanye yang lebih bersifat hura-hura dan tidak mendidik masyarakat dalam menentukan pilihannya. Ruang dan tempat di media koran/majalah juga bisa menjadi tempat yang dipilih oleh pemerintah.
Contoh solusi yang kedua adalah memberikan ruang publik yang sama bagi kandidat peserta pemilu untuk memperlihatkan visi dan misinya. Selama ini, setiap masa kampanye menjelang pemilu, ruang publik kita dibanjiri oleh poster, spanduk dan iklan kandidat peserta pemilu. Dengan melarang semua bentuk kampanye seperti itu, semua kandidat mempunyai hak yang sama dalam “dinding kampanye” yang disediakan pemerintah. Di lain pihak, kandidat tidak perlu lagi berperang poster, spanduk, umbul-umbul dan atribut lainnya di ruang public.

PENUTUP
Dalam mengatasi masalah korupsi di negara ini, perlu adanya upaya untuk mencegah sebelum korupsi itu terjadi. Salah satu upaya yang ditawarkan adalah dengan pembatasan dana maksimal kampanye. Upaya ini berawal dari masalah gaji seorang pejabat yang lebih kecil dibanding dengan dana yang telah dikeluarkan untuk kampanye. Sehingga terjadi kerawanan pejabat untuk mengambil jalan pintas yaitu korupsi untuk setidaknya mengembalikan dana kampanye yang telah dikeluarkan.
Dengan demikian, gagasan di atas sangat penting dan bermanfaat bagi Negara ini dalam rangka memberantas mafia korupsi. Sebab, selama ini pemerintahan masih belum maksimal dalam hal memberantas korupsi, bahkan masih sebatas memberantas, tetapi belum mencapai atau belum memiliki formula dalam mencegah terjadinya korupsi. Untuk itu, gagasan ini sangat tepat jika diimplementasikan ke dalam pelaksanaan pemilihan umum di negeri ini.

DAFTAR RUJUKAN
Ainun, Yatimul. 13 Maret 2013. Lima Pasangan Calon Rebutkan Gaji Wali Kota Rp 12 Juta. Kompas, (Onine), (http://www.kompas.com), diakses pada 27 April 2013.

Yohanes, David. 13 Maret 2013. Ongkos Politik Cawali Malang Tak Sebanding Gaji Wali Kota. Surya, (Online), (http://www.surya.co.id), diakses pada 27 April 2013

KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN NASIONAL

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Pendidikan Kewarganegaraan
Yang dibina oleh Bapak Drs. Marsudi, M.Hum
Oleh:

1)      Ali Sunarno                                                (120741404075)
2)      M Rifki                                                      (110731435615)
3)      Mutiara Maharani                                      (120741421181)
4)      Putri Yulia Cahyono                                  (120741421208)
5)      Arif Hidayat                                              (120741421218)


http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTcEPmId-EvKbGl0afaWN4mI2WMnQcFkLEbJDfGwVHSAERRpjDEZH-uhPnmrQ


UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Maret 2013



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam wewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi.
Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, yang diperkirakan mencapai 250 juta jiwa pada tahun 2015. Ketahanan pangan nasional menjadi sangat penting dan perlu mendapat prioritas penanganan dalam program pembangunan nasional.
Saat ini kondisi yang mengkhawatirkan tentang masalah ketahanan pangan adalah Pertama, mulai dari ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan yang masih tinggi (konsumsi beras kita 139,15 kg/kapita/tahun).  Tapi sebenarnya Indonesia berlimpah sumber pangan. Negeri ini setidaknya memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 buah-buahan, 75 sumber lemak dan 232 jenis sayuran. Sayangnya, sebagian pangan malah masih dipenuhi dari impor, khusunya beras yang p[ada tahun 2012 masih impor sebesar 1,95 juta ton.
Kedua,  laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, sehingga menambah kebutuhan pangan nasional. Selain itu hal ini akan mempengaruhi kebutuhan permukiman yang semakin lama semakin marak dibangun. Akibatnya, ruang terbuka hijau dan lahan pertanian untuk produksi bahan pangan berkurang karena konversi lahan menjadi permukiman dan lapangan kerja non pertanian.
Ketiga, jumlah penduduk rawan pangan masih relative tinggi ,yakni +/- 13% dari total penduduk. Permasalahan ini mengakibatkan kasus kurang gizi (gizi buruk) yang disebabkan oleh minimnya kualitas dan kuantitas pangan yang tersedia. Di Indonesia, gizi buruk masih menjadi momok yang terus menggerogoti generasi penerus bangsa khususnya di beberapa daerah pelosok dan terpencil. Pada 2011 penderita gizi buruk di Indonesia bahkan mencapai angka 4,9 persen (Bappenas). Oleh karena itu makalah ini akan membahas ketahanan pangan nasional, masalah yang dihadapi berikut solusi yang ditawarkan untuk masalah ketahanan pangan nasional.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan diatas, muncul beberapa rumusan masalah yang menarik untuk dikaji yaitu sebagai berikut.
1.      Apa hakikat ketahanan pangan
2.      Bagaimana kondisi ketahanan pangan di Indonesia.
3.      Apa masalah yang muncul dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
4.      Bagaimana solusi pemecahan masalah dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.

1.3  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat diketahui bahwa tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1.      Mengetahui hakikat ketahanan pangan
2.      Mengetahui kondisi ketahanan pangan di Indonesia.
3.      Mengetahui masalah yang muncul dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
4.      Mengetahui solusi pemecahan masalah dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional




BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Ketahanan Pangan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pasal 1 ayat 4, menyebutkan
”Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”
            Dari perspektif sejarah istilah ketahanan pangan (food security) dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan tahun 1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negara-negara berkembang dari krisis produksi dan suply maknan pokok. Jadi dapat dikatakan bahwa munculnya ketahanan pangan karena terjadi krisis pangan dan kelaparan.
Fokus ketahanan pada masa itu menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dan membebaskan daerah dari krisis pangan yang nampak pada definisi ketahanan pangan oleh PBB sebagai berikut: “food security is availability to avoid acute food shortage in the even of wide spread coop vailure or other disaster” (syarif, Hidayat, Hardinsyah dan Sumali, 1999).
Selanjutnya definisi tersebut disempurnakan pada International Conference of Nutrition 1992 yang disepakati oleh pimpinan negara anggota PBB sebagai berikut: Ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang baik dalam jumlah dan mutu pada setip saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Di Indonesia, secara formal dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional, istilah kebijakan dan program ketahanan pangan di adop sejak 1992 (Repelita VI) yang definisi formalnya dicantumkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1 angka 17 menyatakan bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Pengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena (Maleha dan Susanto):
  • akses terhadap pangan dengan gizi seimbang merupakan hak yang paling azasi bagi manusia
  • keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan konsumsi pangan dan gizi
  • ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan.
Dapat dikatakan ketahanan pangan merupakan konsentrasi untuk mewujudkan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi. Dalam ketahanan pangan terdapat 3 (tiga) komponen penting pembentukan ketahanan pangan yaitu: produksi dan ketersediaan pangan, jaminan akses terhadap pangan, serta mutu dan keamanan pangan.

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dalam UU RI No. 7 tahun 1996 yang mengadopsi FAO (Food Association Organization) , didapat 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahan pangan yaitu:
  • kecukupan ketersediaan pangan
  • stabilitas ketersediaan pangan
  • fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun
  • aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
  • kualitas/keamanan pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/ atau pembuatan makanan atau minuman.

2.2. Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia
Indonesia berlimpah sumber pangan. Negeri ini setidaknya memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 buah-buahan, 75 sumber lemak dan 232 jenis sayuran. Sayangnya, sebagian pangan malah masih dipenuhi dari impor
Kondisi di lapangan, komoditas-komoditas unggulan pangan nasional tahun 2012 sebagian besar masih tergantung impor. Sebut saja, impor beras 1,95 juta ton, jagung 2 juta ton, kedelai 1,9 juta ton, dan gandum 7 juta ton. Lalu, daging sapi setara 900 ribu ekor, ayam indukan 900 ribu ekor, gula 3,06 juta ton dan  teh US$11 juta. Termasuk garam, ikan, susu, buah-buahan dan sayuran.
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2012 mengatakan, hingga saat ini, kebijakan mengatasi masalah pangan selalu mengambil jalan pintas dengan impor. Padahal, negeri ini menyediakan sumber pangan melimpah. “Keragaman hayati menyediakan sumber pangan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang dapat mencukupi kehidupan rakyat,” katanya di Jakarta.
Keadaan tambah parah kala keragaman produk pangan rakyat, dialihkan ke monokultur. Achmad Surambo, Koordinator Pokja Sawit ADS, merasa aneh saat sumber pangan yang beraneka ragam malah diseragamkan secara membabi buta. “Antara lain diubah menjadi deretan perkebunan sawit, lebih dari 80 persen untuk ekspor.”
Lahan-lahan pertanian pangan dan hutan, sebelumnya menyediakan berbagai jenis umbi, sagu, sukun juga berbagai sumber protein, perlahan dihilangkan. “Pola makan masyarakat sekitar berubah, sebagian besar pangan harus dibeli dari wilayah jauh, karena sudah tidak bisa lagi ditemukan di lingkungan sekitar,” ucap Surambo.
Abdul Halim, Koordinator Pokja Perikanan pun angkat bicara. Dia mendesak, pengelolaan sumber protein laut yang berkelanjutan dan berkeadilan. Kini, sumber protein melimpah di laut Indonesia malah tidak bisa dinikmati rakyat. “Pencurian ikan, pembatasan akses masih berjalan, menyebabkan protein dari laut sulit dicari.”
Dampak perubahan iklim pun harus segera diantisipasi cerdas .“Bukan hanya mengiyakan berbagai tawaran benih atau teknologi dari luar yang lagi-lagi hanya menciptakan ketergantungan. Tetapi melihat apa yang sudah dimiliki, mengembangkan dan menggunakan sesuai kebutuhan,” ucap Tejo.  Selain itu, masyarakat perlu diajak mengenal kembali kekayaan pangan dan mengkonsumsi sehari-hari.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih ketergantungan terhadap import pangan.
Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kecukupan kalori, di samping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan.

2.3. Masalah Ketahanan Pangan
Masalah utama yang masih dihadapi dalam hal ketahanan pangan nasional antara lain :
a.       Ketergantungan konsumsi beras dan kecenderungan konsumsi terigu masih cukup tinggi, serta belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal untuk konsumsi pangan harian.
b.      Masih rendahnya kualitas dan kuantitas pola konsumsi pangan penduduk, karena pengetahuan, budaya dan kebiasaan makan masyarakat kurang mendukung konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman.
c.       Belum berkembangnya industri pangan berbasis bahan pangan lokal yang mendukung penganekaragaman konsumsi pangan.
d.      Masih terjadinya kasus keracunan akibat penggunaan bahan kimia berbahaya pada makanan sehingga menimbulkan rendahnya ketahanan pangan masyarakat.
e.       Belum memadainya prasarana dan sarana transportasi baik darat dan terlebih antar pulau, sehingga meningkatkan biaya distribusi pangan.
f.       Cadangan pangan pemerintah masih terbatas (hanya beras dan dikelola oleh pemerintah pusat), sementara cadangan pemerintah daerah dan masyarakat belum berkembang termasuk belum optimalnya pemanfaatan dan pengelolaan lumbung pangan.
g.      Kemampuan ketahanan pangan masyarakat dalam pemenuhan ketersediaan pangan dan akses pangan masih rendah.
h.      Perubahan iklim global tidak dapat dihindari dan dapat mempengaruhi produksi, distribusi, cadangan dan harga.
i.        Jumlah penduduk rawan pangan masih cukup besar, meskipun telah menunjukkan trend yang menurun.

Menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam sambutannya pada kegiatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke X tahun 2012 di Jakarta, Ketahanan pangan nasional kerapkali menghadapi tantangan yang tidak ringan, baik dari lingkungan dalam negeri maupun lingkungan global. “Di lingkungan dalam negeri, kita masih menghadapi banyak tantangan seperti dalam hal penyediaan lahan pertanian produktif, penyediaan infrastruktur pertanian yang memadai, stabilisasi harga pangan dalam negeri, distribusi pangan yang merata dalam lingkup wilayah geografis yang luas, dan menjamin sistem produksi pangan yang tahan terhadap gangguan bencana alam,” kata dia.
Sedangkan di lingkungan global diwarnai perubahan iklim yang sangat drastis, konflik pemanfaatan global terhadap sumberdaya pertanian bagi penyediaan pangan, pakan, dan energi, semakin protektifnya negara maju terhadap produk pangan dan sektor pertanian serta format perdagangan bebas melalui WTO yang tidak adil.
Menurut dia, kondisi global tersebut telah menganggu kapasitas produksi pertanian dan pertumbuhan harga pangan sehingga terjadi kenaikan harga pada beberapa komoditas. “Persoalan ini dapat diatasi dengan meningkatkan ketahanan pangan kita,” ujarnya. (www.SEHATNEWS.com)
Dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional sangat erat kaitanya dengan pembangunan pertanian. Dalam hal ini sedikitnya terdapat lima masalah yang dihadapi dalam pembangunan pertanian yaitu 
Masalah Pertama yaitu penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian. Dari segi kualitas, faktanya lahan dan pertanian kita sudah mengalami degradasi yang luar biasa, dari sisi kesuburannya akibat dari pemakaian pupuk an-organik. Berdasarkan Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi mengalami penurunan produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai  65,76 juta ton dan lebih rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering atau 4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan selalu meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia.
Berbagai hasil riset mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan mengalami degradasi lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah yaitu kecil dari 2 persen. Padahal, untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan kandungan C-organik lebih dari 2,5 persen atau kandungan bahan organik tanah > 4,3 persen. Berdasarkan kandungan C-organik tanah/lahan pertanian tersebut menunjukkan lahan sawah intensif di Jawa dan di luar Jawa tidak sehat lagi tanpa diimbangi pupuk organik dan pupuk hayati, bahkan pada lahan kering yang ditanami palawija dan sayur-sayuran di daerah dataran tinggi di berbagai daerah. Sementara itu, dari sisi kuantitasnya konfeksi lahan di daerah Jawa memiliki kultur dimana orang tua akan memberikan pembagian lahan kepada anaknya turun temurun, sehingga terus terjadi penciutan luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan bangunan dan industri.
Masalah kedua yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan dan pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari non-waduk. Karena itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi nasional. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sementara 19 waduk masih berstatus normal. Selain itu masih rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian menjadi buruk.
Masalah ketiga adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar. Indonesia menghadapi persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi bahkan di kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan kondisi lahan pertanian di tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian
Masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha terutama di permodalan. Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangkan dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (low cost production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung kepada para petani sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan anggaran sampai 20 Triliun untuk bisa diserap melalui tim Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang Pangan dan Energi.
Masalah kelima adalah masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan.  
Pada dasarnya komoditas pertanian itu memiliki beberapa sifat khusus, baik untuk hasil pertanian itu sendiri, untuk sifat dari konsumen dan juga untuk sifat dari kegiatan usaha tani tersebut, sehingga dalam melakukan kegiatan usaha tani diharapkan dapat dilakukan dengan seefektif dan seefisien mungkin, dengan memanfaatkan lembaga pemasaran baik untuk pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahannya. Terlepas dari masalah-masalah tersebut, tentu saja sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan harapan, tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat dan penyumbang devisa bagi negara.(Kabid Ketahanan Pangan dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT))
2.4. Solusi Pemecahan Masalah dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional.
Mewujudkan ketahanan pangan merupakan agenda yang harus medapat sorotan serius dan perlu upaya nyata dari pemerintah. Dalam bagian sambutannya saat membuka Seminar dan Pameran Ketahanan Pangan 2012 di JCC, Selasa (7/2) siang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan "Kita terus mengembangkan program prorakyat, termasuk beras untuk rakyat miskin, jaminan kesehatan untuk rakyat miskin," Menurut SBY, semua itu dilaksanakan agar penduduk dengan penghasilan pas-pasan dapat mengarahkan penghasilannya untuk membeli beras dan bahan pangan lain untuk mencukupi gizinya. "Ini harus dijalankan dan sukses," tegasnya.
Kedua, produksi pangan juga harus terus ditingkatkan. Dengan keterbatasan untuk terus menerus memperluas lahan, maka peranan teknologi amat diperlukan. "Kalau hal ini bisa dilakukan, maka di tahun-tahun mendatang kita akan memiliki kemandirian pangan dalam arti cukup untuk rakyat dan kemudian disalurkan ke dunia sehingga dapat meningkatkan perekonomian kita," SBY menjelaskan.
Ketiga, Presiden juga meminta agar memastikan komoditas pangan tersedia dengan harga terjangkau dan stabil. "Mari perbaiki sistem logistik dan infrastruktur kita," ujar SBY.
Keempat, terus pantau perkembangan pada tingkat global. Menurut Presiden, hal ini tentu tidak bisa dikerjakan sendiri, dibutuhkan kerjasama dengan negara-negara sahabat dan organisasi dunia lainnya.
Kepala Negara berharap apabila ada perubahan kebijakan dari negara-negara yang mengekspor bahan pangan, agar dikoordinasikan dengan baik. "Misalnya negara pengekspor beras yang merubah kebijakan, baiknya ada koordinasi. Dengan demikian tidak akan menghadapi masalah," SBY menekankan.
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Program Kerja Dan Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2012, solusi yang ditawarkan dalam mengatasi masalah ketahanan pangan nasional adalah
a.       Pengembangan Desa Mandiri Pangan : meningkatnya kemampuan ketahanan pangan masyarakat dan pemerintah melalui pengembangan Desa Mandiri Pangan di 2.989 desa rawan pangan pada 410 Kabupaten/Kota; serta pelaksanaan peningkatan kesejahteraan petani kecil atau Smallholder Livelihood Development Programme in Eastren Indonesia (SOLID) pada 6 kabupaten di Provinsi Maluku dan 5 kabupaten di Propinsi Maluku Utara.
b.      Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan LDPM) : meningkatnya kemampuan gapoktan sebanyak 1.265 gapoktan di 27 Provinsi dalam rangka stabilisasi harga pangan dan penguatan cadangan pangan gapoktan di daerah sentra produksi pangan.
c.       Pemberdayaan Lumbung Pangan Masyarakat : meningkatnya kemampuan pengelola kelompok lumbung dalam menangani cadangan pangan masyarakat pada 1.040 lumbung pangan di pedesaan.
d.      Penanganan Daerah Rawan Pangan : tertanganinya kerawanan pangan di 410 Kabupaten/Kota pada 33 Provinsi.
e.       Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) : terselenggaranya Gerakan (Penyuluhan dan Penyebaran Informasi) P2KP melalui : pemberdayaan kelompok wanita melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan termasuk pengembangan kebun bibit di 5.990 desa; pengembangan pangan lokal melalui peningkatan pengolahan tepung-tepungan dan pangkin bagi kelompok usaha pangan skala rumah tangga di 363 kabupaten/kota; sosialisasi dan promosi P2KP pada 390 kabupaten/kota dan 33 provinsi; dan pengembangan kawasan diversifikasi pangan 33 kabupaten/kota dan 33 provinsi.
f.       Penanganan dan Pengembangan Kesadaran Keamanan Pangan Segar : terwujudnya peningkatan kepedulian dan kesadaran masyarakat (produsen dan konsumen) terhadap keamanan pangan segar di seluruh propinsi dan 100 kabupaten sasaran penanganan keamanan pangan.
g.      Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID) dalam rangka pemantapan ketahanan pangan keluarga
h.      Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan : (1) terselenggaranya koordinasi dan keterpaduan pengelolaan ketahanan pangan oleh pemerintah bersama masyarakat pada 33 Provinsi, (2) pemberian penghargaan ketahanan pangan; serta (3) terlaksananya rumusan kebijakan ketahanan pangan bagi komoditas strategis melalui Dewan Ketahanan Pangan di tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Selain itu Strategi Badan Ketahanan Pangan Terkait Ketersediaan Pangan melakukan langkah-langkah operasional diantaranya
a.       Mendorong kemandirian pangan melalui swasembada pangan untuk komoditas strategis (beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi);
Swasembada beras merupakan target utama mengingat ketergantungan akan beras penduduk Indonesia sangat tinggi. Adapun upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam menciptakan swasembada beras yaitu: (1)Penyediaan pupuk (subsidi dan non-subsidi): urea 35,15 juta ton, SP-36 22,23 juta ton, ZA 6,29 juta ton, KCL 13,18 juta ton, NPK 45,99 juta, dan organik 53,09 ton. (2) Subsidi: pupuk, benih/bibit dan kredit/bunga.(3) Perluasan lahan baru-baru 2 juta ha untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, hijauan makanan ternak dan padang penggebalaan (4) Investasi pemerintah dan swasta di bidang pertanian
b.      Meningkatkan keragaman produksi pangan berdasarkan potensi sumberdaya lokal/wilayah;
c.       Pemberdayaan masyarakat di daerah rawan pangan melalui pengembangan desa mandiri pangan;
d.      Pemberdayaan lumbung pangan masyarakat di daerah rawan pangan;
e.       Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP) melalui Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan Gizi (SKPG) untuk penanganan kerawanan pangan kronis.


BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam wewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang banyak menyebabkan kebutuhan akan sumber pangan juga melimpah. Dari sini timbul berbagai masalah dalam hal ketersediaan pangan nasional meskipun di Indonesia banyak ragam sumber pangan tersedia, namun hal ini belum mampu digunakan secara optimal. Hal ini mengakibatkan Indonesia masih membutuhkan produk impor untuk memenuhi kebutuhan penduduknya, seperti beras, jagung, kedelai, gandum, daging sapi, ayam indukan, gula,  teh, garam, ikan, susu, buah-buahan dan sayuran
Masalah utama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional yaitu ketergantungan konsumsi beras, masih rendahnya kualitas dan kuantitas pola konsumsi pangan penduduk, belum berkembangnya penganekaragaman konsumsi pangan, belum memadainya prasarana dan sarana transportasi, cadangan pangan pemerintah masih terbatas, kemampuan ketahanan pangan masyarakat dalam pemenuhan ketersediaan pangan dan akses pangan masih rendah, Perubahan iklim global dapat mempengaruhi produksi, distribusi, cadangan dan harga, jumlah penduduk rawan pangan masih cukup besar.
Dari berbagai masalah ketahanan pangan diatas pemerintah dan masyarakat berupaya mencari solusi dengan pengembangan desa mandiri pangan, penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat (penguatan LDPM), pemberdayaan lumbung pangan masyarakat, penanganan daerah rawan pangan, percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP), penanganan dan pengembangan kesadaran keamanan pangan segar, peningkatan kesejahteraan petani kecil, penguatan kelembagaan ketahanan pangan.
.


DAFTAR RUJUKAN
Kepala Badan Ketahanan Pangan. 2012. Pedoman Pelaksanaan Program Kerja Dan Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2012. Jakarta. Badan Ketahanan Pangan Nasional.
www.hukumonline.com. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
http://setkab.go.id/artikel-5746-.html diakses pada 6 pebruari 2013 pukul 9:14

TRADISI MEMBERI JAMUAN MAKANAN KEPADA PELAYAT, PENGGALI KUBUR, DAN JAMAAH TAHLIL

TRADISI MEMBERI JAMUAN MAKANAN KEPADA PELAYAT, PENGGALI KUBUR, DAN JAMAAH TAHLIL


Untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Yang dibina oleh Bapak Ahmad Munjin Nasih, S.Pd., M.Ag



Oleh
Ali Sunarno
120741404075

Offering  A








UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Maret 2013




TRADISI MEMBERI JAMUAN MAKANAN KEPADA PELAYAT, PENGGALI KUBUR, DAN JAMAAH TAHLIL


A.    Deskripsi Masalah
Sudah menjadi tradisi di masyarakat Indonesia terutama orang-orang Jawa menyediakan hidangan bagi orang-orang yang bertakziah dan  bagi para penggali kubur, bahkan di sebagian daerah tidak afdol rasanya jika kepergian orang tua menghadap Ilahi tidak disertai dengan penyembelihan kambing untuk disedekahkan bagi para pelayat dan penggali kubur menjelang pemberangkatan terakhir atau sesaat setelah mayyit dikuburkan. Jika mereka tidak melakukan hal itu maka akan digunjing oleh para tetangga dan dikatakan tidak berbakti kepada orang tua.
Tradisi semacam diatas juga terdapat di Dusun Sidomulyo Desa Wates Kecamatan Wates Kabupaten Blitar. Masyarakat yang mayoritas muslim ini juga menjalankan adat menghidangkan makanan bagi orang-orang yang bertakziah dan para penggali kubur setelah ada salah satu dari  anggota keluarga mereka yang meninggal dunia. Tidak hanya itu, mereka juga melaksanakan tahlilan mulai hari pertama sampai hari ke tujuh meninggalnya anggota keluarga yang juga di sertai dengan menyediakan hidangan kepada jamaah tahlil tersebut.
Di Dusun Sidomulyo, tradisi tersebut masih dilaksanakan hingga saat ini. Masyarakat menganggap makanan yang dihidangkan kepada orang yang bertakziah merupakan wujud dari memulyakan tamu dan sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada si mayyit. Sedangkan makanan yang diberikan kepada penggali kubur juga merupakan sedekah dan wujud terimakasih atau  imbalan dalam membantu mengurusi jenazah, karena masyarakat  Sidomulyo secara umum tidak memberikan imbalan uang kepada penggali kubur namun hanya sekedar memberi makanan tersebut.
Selanjutnya yaitu tradisi Tahlilan yang dilaksanakan pada hari pertama sampai hari ke tujuh setelah meninggalnya si mayyit. Tahlilan ini dilakukan untuk mendoakan si mayyit agar segala amal perbuatanya diterima oleh Allah dan diampuni dosa-dosanya dengan membaca do’a-do’a dan kalimat Tayyibah. Setelah kegiatan tahlilan tersebut usai, biasanya pemilik rumah juga menyediakan makanan untuk jamaah tahlil. Hal ini sebagai bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih keluarga si mayyit kepada jamaah atas do’a yang telah di panjatkan dan sebagai sedekah yang pahalanya ditujukan kepada si mayyit.
Namun tradisi menyediakan hidangan untuk orang yang bertakziah, penggali kubur, dan jamaah tahlil tidak mengikat kepada seluruh masyarakat Sidomulyo khususnya bagi warga yang kurang mampu secara ekonomi sehingga tidak menjadi beban kepada keluarga si mayyit. Namun biasanya warga yang kurang mampu tersebut mendapat bantuan dari tetangga atau kerabat yang lain untuk menyediakan makanaan bagi pelayat, penggali kubur dan jamaah tahlil. 
Tradisi menyajikan hidangan ini sering menjadi bahan perbincangan di kalangan orang – orang Islam yang tidak memahami latar belakang kehidupan orang – orang Indonesia dan adat mereka apalagi mereka yang baru mempelajari ajaran Islam dengan semangat kembali ke Al Qur’an dan Al Hadits. Dengan cepat mereka akan mengatakan haram karena itu adalah bid’ah, karena semua bid’ah itu sesat dan semua yang sesat akan bertempat di neraka. Selalu itu dalil yang dilontarkan guna mengikis adat dan budaya asli Indonesia. Sehingga timbul kontoversi apakah hidangan dalam selamatan kematian ini sesuai dengan ajaran islam atau melenceng dari syariat islam.

B.     Analisis Masalah
Suguhan makanan yang dibuat oleh keluarga duka cita atau keluarga orang yang meninggal kepada orang-orang yang berta’ziyah atau jamaah tahlil (selamatan kematian), diperselisihkan di kalangan ulama menjadi 3 pendapat.
Pertama, pendapat yang menyatakan makruh. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama madzhab empat, seperti dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam kitab I’anah al-Thalibin dengan mengutip fatwa gurunya, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan berikut ini:
 “Apa yang dilakukan oleh manusia berupa berkumbul di rumah keluarga duka cita dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang munkar. Dalam Hasyiyah al-Jamal diterangkan, “Di antara bid’ah yang munkar adalah tradisi selamatan (kenduri) kematian yang disebut wahsyah, juma’, dan arba’in (nama-nama tradisi di Hijaz). Bahkan semua itu dihukumi haram apabila makanan tersebut diambil dari harta mahjur ‘alaih (orang yang belum dibolehkan mentasarufkan hartanya seperti anak yang belum dewasa), atau harta si mati yang memiliki hutang, atau dapat menimbulkan madarat pada si mati tersebut dan sesamanya.” Tidak diragukan lagi bahwa mencegah manusia dari bid’ah yang munkar ini, dapat menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka sekian banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup sekian banyak pintu-pintu kejelekan. Karena manusia yang melakukannya telah banyak memaksakan diri yang membawa pada hukum keharaman.” (Syaikh al-Bakri, I’anah al-Thalibin, juz 2 hal. 145-146).
Demikian fatwa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Syafi’i yang dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam I’anah al-Thalibin. Kesimpulan dari fatwa tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, selamatan pada hari kematian, sampai hari ketujuh dan hari empat puluh adalah makruh, apabila makanan yang disediakan berasal dari harta keluarga si mati. Kedua, selamatan tersebut bisa menjadi haram, apabila makanan disediakan dari harta mahjur ‘alaih (orang yang tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim/belum dewasa), atau dari harta si mati yang mempunyai hutang, atau dapat menimbulkan madarat dan sesamanya. Demikian kesimpulan fatwa Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan yang bermadzhab Syafi’i. Fatwa yang sama juga dikemukakan oleh ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Meski demikian, apabila makanan yang disediakan kepada penta’ziyah tersebut berasal dari bantuan para tetangga, maka status hukum makruhnya menjadi hilang dan berubah menjadi tidak makruh. Hal ini seperti dikemukakan oleh Syaikh Abdul Karim Bayyarah al-Baghdadi, mufti madzhab Syafi’i di Iraq, dalam kitabnya Jawahir al-Fatawa. Dalam hal ini, ia berkata:
 “Apabila orang-orang yang berta’ziyah yang dewasa berkumpul, lalu masing-masing mereka menyerahkan sejumlah uang, atau mengumpulkan sesuatu yang mencukupi untuk konsumsi perkumpulan (selamatan kematian) berupa kebutuhan makanan dan minuman, dan mengirimkannya kepada keluarga si mati atau salah satu tetangganya, lalu mereka menjamahnya setelah sampai di tempat ta’ziyah itu, maka hal tersebut tidak mengandung hukum kesulitan (tidak apa-apa). kaAllah lah yang menunjukkan pada kebenaran.” (Jawahir al-Fatawa, juz 1, hal. 178).
Kedua, pendapat yang menyatakan boleh atau mubah. Pendapat ini diriwayatkan dari Khalifah Umar, Sayyidah Aisyah dan Imam Malik bin Anas. Riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai berikut:
 “Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
 “Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hari orang yang sedang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, berpandangan bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:
 “Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Ketiga, pendapat yang mengatakan sunnat. Pendapat ini diriwayatkan dari kaum salaf sejak generasi sahabat yang menganjurkan bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
 “Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.

C.    Solusi Masalah
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tradisi hidangan makanan dari keluarga duka cita untuk orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan sunnat. Di antara mereka tidak ada pendapat yang menyatakan haram. Bahkan untuk selamatan tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.
Disamping itu kegiatan jamuan makanan yang diberikan kepada pentakziah, penggali kubur, jamaah tahlil memiliki berbagai manfaat dan merupakan amalan dalam islam seperti bersedekah, menghormati tamu dan ucapan terimakasih. Selain itu juga memiliki nilai sosial dalam masyarakat.
Namun demikian, tradisi jamuan ini tidak harus dijadikan hal yang wajib dalam masyarakat. Sebaiknya dilaksanakan jika pihak keluarga si mayyit tidak mengalami keberatan sehingga tidak menjadikan beban tanbahan di samping beban kesedihan akibat meninggalnya anggota keluarga.
Jadi dalam menanggapi masalah ini tidak perlu saling menyalahkan antara yang umat muslim yang tidak melaksanakan tradisi hidangan kepada muslim yang melaksanakanya. Jangan sampai masalah perbedaan persepsi ini menjadikan perpecahan antara umat islam sendiri.

DAFTAR RUJUKAN