Halaman

Rabu, 19 Juni 2013

SEJARAH GONG KYAI PRADAH DAN UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DI LODOYO KECAMATAN SUTOJAYAN KABUPATEN BLITAR

SEJARAH LOKAL

”SEJARAH GONG KYAI PRADAH DAN UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DI LODOYO KECAMATAN SUTOJAYAN KABUPATEN BLITAR”

ARTIKEL
disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Indonesia yang dibina oleh Bapak Dr. GM. Sukamto, M.Pd






Oleh:
Ali Sunarno
120741404075




UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
April 2013
SEJARAH GONG KYAI PRADAH DAN UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DI LODOYO KECAMATAN SUTOJAYAN KABUPATEN BLITAR

Ali Sunarno

Abstrak
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan tradisi lokal. Budaya yang melimpah ini dipegaruhi oleh peradaban zaman dahulu khususnya zaman kerajaan. Kerajaan-kerajaan tersebut mewariskan budaya yang sebagian masih dapat kita lihat higga saat ini baik berupa benda-benda maupun suatu tradisi. Pada saat ini, benda-benda dan tradisi peninggalan zaman dahulu tidak hanya digunakan untuk ritual saja tetapi terdapat pula aspek rekereasi dan pariwisata budaya. Di Kabupaten Blitar, khususnya di wilayah Lodoyo terdapat benda peninggalan zaman kerajaan berupa Gong  Kyai Pradah dan tradisi Siraman Gong Kyai Pradah yang masih dapat dilihat hingga saat ini. Dalam hal ini dibahas mengenai sejarah Gong Kyai Pradah, ritual upacara siraman Gong Kyai Pradah, serta makna tradisi siraman Gong Kyai Pradah bagi masyrakat.
Kata Kunci : Gong Kyai Pradah, Upacara Siraman, Lodoyo.

A.    Sejarah Gong Kyai Pradah
Tesebutlah dalam ceritera, kira kira pada tahun 1704-1717 Masehi di Surakarta, bertahtalah seorang raja yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuono 1. Raja ini mempunyai saudara ke-2 yang lahir dari Isteri Ampeyan ( bukan Permaisuri ) bernama Pangeran Prabu. Ketika Sri Susuhunan Pakubuwono I dinobatkan menjadi Raja, Pangeran Prabu sangat kecewa hatinya, karena sebenarnya ia berambisi pula menjadi raja. Maka dari itu ia berkeinginan untuk membunuh adiknya. Rencana ini telah diketahui oleh kakaknya sebelum dilaksanakan. Sebagai hukuman dari keinginannya itu, ia diharuskan pergi ke daerah Lodoyo untuk menebang hutan lebat ini untuk dijadikan daerah pedesaan. Suatu hal yang tidak mustahil bahwa hutan yang sangat lebat itu, pasti banyak binatang binatang buas dan banyak pula roh roh yang jahat yang bersarang disitu.
Inilah sebabnya pangeran prabu harus mendesakan daerah itu dengan maksud supaya pangeran prabu dimangsa oleh binatang binatang buas atau mati karena sebab yang lain. Pada waktu itu Lodoyo termasuk daerah yang gawat dan berbahaya dengan ungkapan kata “ Jalmo moro Jalmo mati “ ( siapa yang datang, berarti mencari kematian ). Tetapi sekarang tidak, justru ungkapannya “ jalmo moro, jalmo krasan “ ( siapa yang datang , akan hidup tentram).
Pangeran prabu yang merasa bersalah makar tehadap raja itu dengan rasa sedih berangkat melaksanakan sabda raja, dengan diiringi isteri tua benama Rr. Wandansari dan abdi yang setia pula, bernama Ki Amat Tariman. Ia membawa serta pusaka yang disebut Kyai Bicak, sebagai alat penawar keadaan daerah yang gawat ini, berupa GONG ( KEMPUL LIMO ).
Mereka berangkat dari Surakarta menuju ke arah timur. Perjalanan yang disertai kesedihan dan penderitaan itu sebagai pendorong kuat untuk segera datang ke tempat tujuan.Selang beberapa bulan dari keberangkatannya mereka datang ketempat itu. Pertama-tama meraka datang di rumah seorang janda bernama Nyi Partosuto di hutan Ngekul.
Pangeran Prabu hanya beberapa waktu saja berdiam disitru, karena kesedihan hatinya belum dapat disembuhkan. Untuk menghilangkan kesedihannya itu Ia berpendapat bahwa hanya Tuhan-lah kiranya yang bisa menyembuhkannya. Maka dari itu dengan terpaksa mereka meninggalkan si Janda Partosuto guna mencari ilham dari Tuhan. Sebelum mereka meninggalkan Ngekul, sudah membayangkan betapa sulitnya perjalanan yang harus ditempuhnya, maka Pusaka Kyai Becak terpaksa ditinggalkan di Janda Partosuto dengan Pesan :
1.      Tiap tanggal 1 syawal (bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri) dan tanggal 12 rabiul Awal  bertepatan dengan Kelahiran Nabi Muhammad SAW) Pusaka ini harus dimandikan dengan air jernih/suci dicampur dengan bunga rampai.
2.      Air Bekas untuk memandikan bisa digunakan untuk menyembuhkan penyakit serta bisa menentramkan hati, bagi siapapun yang meminumnya.
Pada suatu waktu berpisahlah Ki Amat Tariman dengan Pangeran Prabu yang menyebabkan kebingungannya untuk menemukan majikannya. Setelah habis daya dan upaya untuk mencarinya dan belum bersua juga maka Ki Amat Tariman dalam kebingangannya sempat memukul Gong Kyai Becak itu tujuh kali dengan maksud suara gaung Gong bisa terdengar oleh Pangeran Prabu. Wal hasil bukan Pangeran Prabu yang menyahuti suara Gong itu namun beberapa Harimau besar yang mendatanginya. Anehnya, harimau itu tidak mengganggu Ki Amat Tariman namun justru memberikan tanda bagi Ki Amat Tariman untuk mengikuti arah harimau itu berjalan. Dan akhirnya bertemulah Ki Amat Tarima dengan Pangeran Prabu. Maka semenjak itulah Gong Kyai Becak, disebut juga sebagai Kyai Macan atau Kyai Pradah.
Setelah itu mereka berangkat berjalan ke arah barat menuju Hutan Pakel. Dan disitulah Pangeran Prabu bertapa untuk mendapatkan Petunjuk dari Tuhan. Beberapa saat bertapa namun Pangeran Prabu tetap belum bisa menghilangkan kesedihannya, maka dilepaskanlah semua tanda kebangsawanannya berupa pakaian dan lain-lain dan ditinggalkan di pesanggraha Pakel. Tempat itu sampai sekarang masih dikeramatkan penduduk sekitarnya.
Mereka meningglakan Pakel menuju ke barat dan belum jauh perjalanan yang ditempuh di tengah jalan mereka bertemu dengan Prajurit utusan Kerajaan Surakarta. Perselisihan dan pertikaian tidak bisa dielakkan lagi dan akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Prabu. Meskipun demikian Pangeran Prabu tetap waspada dan berjaga-jaga di Bukit Gelung. Namun hari berganti hari bulan berganti bulan ternyata tidak ada lagi prajurit Surakarta yang datang. Mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Hutan Keluk (sekarang Desa itu dikenal dengan Desa Ngrejo, Lodoyo Barat). Di sebuah tempat di Desa ini Pangeran Prabu memangkas Rambutnya dan ditanamlah disitu Rambut bersama Mahkotanya. Tempat ini sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitar.
Perjalanan mereka diteruskan ke timur hingga sampailah di hutan Dawuhan. Disana ia membuka ladang pertanian dengan ditanami padi. Namun tidak berhasil dan gagal panen. Maka tempat itu dijuluki Gogo Wurung ( gogo artinya berladang/bertani dan Wurung berarti gagal).
Setelah itu perjalanan diteruskan dan sampailah mereka ke Hutan Darungan. Ada kejadian yang menyedihkan bagi Pangeran Prabu disini yaitu Istrinya Ki Wandansari yang tengah hamil tua melahirkan di sebuah bukit dan si Jabang bayinya wafat. Dia dikuburkan di tempat itu juga dan tempat itu akhirnya dijuluki Bukit Pandan. Tempat sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitar.
Perjalanan diteruskan ke timur menyusuri pinggiran sungai Brantas melalui Hutan Jegu, Gondanglegi, Tawangrejo dan beristirahat di Hutan Kaulon. Di tempat ini Pangeran Prabu beserta istri dan pengikut setianya mendirikan tempat untuk berteduh dari terik matahari dan hujan selama beberapa bulan. Di tempat ini pula Nyi Wandansari hamil dan akhirnya melahirkan 2 anak kembar. Kedua bayinya tidak berusia panjang dikarenakan tidak adanya alat untuk membantu saat persalinan anaknya sehingga bukit ini dijuluki Bukit Peranti. Bukit ini sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya.
Di desa inilah riwayat Pangeran Prabu berakhir dan tidak diketahui lagi kisah perjalanannya. Namun Janda Partosuto tetap melaksanakan pesan Pangeran Prabu untuk merawat Kyai Pradah. Sepeninggal Nyi Partosuto Pemeliharaan Gong Kyai Pradah diserahkan kepada :
1.      Ki Hadiboyo (di Desa Ngekul)
2.      Ki Dalang Redi Guno ( di Desa Kepek)
3.      Kyai Imam Suparno ( Karena beliau dipanggil ke Istana Surakarta maka Gong
diserahkan kepada adiknya)
4.      Kyai Imam Seco (adik Kyai Imam Suparno dari Desa Sukoanyar daerah yang
Ber rawa-rawa, sekarang disebut Surejo. Beliau menjabat sebagai Wakil Penghulu di Blitar hingga wafat tahun 1973.
5.      Raden Ronggo Kertarejo(di Desa Kalipang)
6.      ……
7.      Mbah Palil (di kelurahan Kalipang sampai saat ini)
Kyai Pradah yang berwujud Gong (kempul limo) dahulu dibalut dengan kain sutera Pelangi atau cinde dengan dikelilingi benda-benda pusaka lainnya. Hingga Sekarang Benda ini masih dirawat dan dimandikan sesuai Pesan Pangeran Prabu, yang disaksikan oleh ribuan pengunjung dan masyarakat yang masih mengkeramatkannya.

B.     Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
Upacara adat Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah merupakan salah satu bentuk budaya lokal di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Tradisi ini sampai sekarang masih tetap diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya, yaitu setahun dua kali di Lodoyo, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar. Hal ini karena masyarakat pendukungnya percaya bahwa tradisi ini masih bermanfaat dalam kehidupannya.
Pelaksanaan upacara adat siraman pusaka tersebut merupakan bentuk pemeliharaan secara tradisional benda peninggalan nenek moyang yang berupa Gong bernama Kyai Pradah, sehingga dengan pemeliharaan ini pusaka Gong Kyai Pradah akan tetap lestari.
Tradisi Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah dapat menambah rasa persatuan dan kegotongroyongan antar warga Lodoyo. Selain itu pelaksanaan tradisi tersebut juga dapat menambah pendapatan masyarakat setempat. Kegiatan ini menjadi salah satu aset wisata budaya di Lodoyo khususnya dan di Kabupaten Blitar pada umumnya.
Upacara adat siraman pusaka Gong Kyai Pradah banyak mengandung nilai-nilai budaya luhur warisan nenek moyang, oleh karena itu sebaiknya tradisi tersebut tetap dilestarikan dan diinternalisasikan kepada generasi muda supaya mereka tidak lepas dari akar budayanya.
Upacara siraman Gong Kyai Pradah dilaksanakan dua kali setahun, yaitu setiap tanggal 12 Robiul Awal bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad dan tanggal 1 Syawal bertepatan dengan hari Raya Idul Fitri. Khusus penyelenggaraan tanggal 12 Robiul Awal upacara diadakan secara besar-besaran, sedangkan upacara yang diadakan pada tanggal 1 Syawal dilaksanakan secara sederhana oleh petugas yang berkepentingan saja.
Pelaksanaan upacara siraman Kyai Pradah dipusatkan di alun-alun Kawedanan Lodoyo kecuali ziarah. Di lokasi tersebut perlengkapan upacara telah dipersiapkan secara permanen, yaitu: panggung siraman setinggi tiga meter dengan luas kurang lebih enam belas meter persegi, dan sanggar penyimpanan, serta pendopo kawedanan.
Sanggar penyimpanan adalah tempat penyimpanan Kyai Pradah beserta kenong dan wayang krucil, tempat dimana para pengunjung menyampaikan hajadnya pada hari-hari biasa. Pada saat upacara, sanggar penyimpanan digunakan untuk tirakatan dan selamatan.
Adapun panggung siraman adalah tempat untuk melaksanakan acara puncak yaitu siraman gong Kyai Pradah; pendopo kawedanan pada saat upacara digunakan sebagai tempat duduk para undangan, acara selamatan, dan tempat hiburan. Ziarah dilakukan di patilasan yang terletak di Dukuh Dadapan, Kecamatan Sutojayan.
Penyelenggaraan upacara siraman pada mulanya dilakukan secara spontan oleh warga masyarakat dengan dikoordinasi para kepala desa di Kecamatan Sutojayan. Namun sekarang penyelenggaraan upacara dikoordinasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Blitar. Tokoh-tokoh yang berperan sebagai penyelenggara teknis upacara adalah sebagai berikut.
a.       Pejabat Pemerintah. Pada upaeara yang dilaksanakan pada tanggal 12 Robiul Awal sebagai penanggung jawab formal pelaksana upacara adalah Bupati Blitar, sedangkan pada upaeara 1 Syawal tokoh yang berperan adalah Pembantu Bupati Lodoyo.
b.      Juru kunci, yaitu juru kunci petilasan dan juru kunci Kyai Pradah.
c.       Para dhalang yang bertempat tinggal di Lodoyo, bertugas membawa kenong dan wayang krucil.
d.      Petugas pembawa panji-panji Kawedanan Lodoyo dan paying
e.       Pemain kesenian tradisional.
f.       Pemasak sesaji.
Siraman dimulai dengan pembacaan riwayat Kyai Pradah oleh Bapak Bupati yang diwakilkan pada salah satu petugas. Pembacaan dilakukan dengan mikrofon sehingga para pengunjung mendengar dengan jelas.
Selesai pembacaan riwayat dimulailah puncak acara siraman. Siraman pertama kali dilakukan oleh Bapak Bupati, dilanjutkan Bapak Pembantu Bupati, pejabat Muspika, juru kunci dan para dhalang. Kyai Pradah kemudian digosok-gosok dengan kembang setaman agar hilang karatarinya. Kembang setaman kemudian dipercik-percikkan ketujuh tempayan yang telah diisi air.
Setelah Kyai Pradah selesai disirami, maka Bapak Bupati segera mengguyurkan air yang ditempayam ke para pengunjung yang berdesak-desakan di bawah panggung siraman sampai habis. Demikian halnya yang di atas panggung pun saling berebut mendapatkan air bekas siraman karena ir bekas siraman dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, tolak balak bahkan membantu orang yang belum dapat jodoh.


             
       Prosesi Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.                    Warga berebut air bekas siraman Gong Kyai Pradah.



DAFTAR RUJUKAN

Setiawan, Hengky Ismuhendro dan Subiyatningsih, Foriyani. 2011. Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. (Online), (http://Upacara Siraman Gong Kyai Pradah_Pusaka Jawatimuran.htm), diakses pada 15 April 2013.

Sabtu, 01 Juni 2013

OBSERVASI PASAR


LAPORAN OBSERVASI PASAR

”KEBERADAAN TUKANG BECAK DI PASAR JALAN JOMBANG”

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Antropologi
Yang dibina oleh Bapak Drs. Irawan, M.Hum


Oleh
Ali Sunarno
120741404075

Offering  A






UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Pebruari 2013



A.    Pendahuluan
Universitas Negeri Malang (UM) merupakan salah satu universitas yang terletak di pusat Kota Malang. Sehingga disekitarnya terdapat berbagai fasilitas publik khususnya pasar baik pasar modern maupun pasar tradisonal. Pasar modern atau biasa yang disebut “mall” di sekitar UM yaitu MATOS (Malang Town Sequare), MOG (Mall Olimpic Garden) sedangkan  yang termasuk pasar tradisional salah satunya adalah pasar Jalan Jombang.
Pasar adalah tempat dimana terjadi interaksi antara penjual dan pembeli. Pasar di dalamnya terdapat tiga unsur, yaitu: penjual, pembeli dan barang atau jasa yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan. Pertemuan antara penjual dan pembeli menimbulkan transaksi jual-beli, akan tetapi bukan berarti bahwa setiap orang yang masuk ke pasar akan membeli barang, ada yang datang ke pasar hanya sekedar main saja atau ingin berjumpa dengan seseorang guna mendapatkan informasi tentang sesuatu. Ada pula yang memanfaatkan keramaian pasar sebagai sumber penghasilan yaitu dengan menyediakan jasa angkut dan antar bagi pengunjung pasar tersebut. Salah satu jasa angkut dan antar yang ada di pasar khususnya pasar tradisional adalah becak.
Berangkat dari pernyataan kedua paragraf di atas, kami tertarik untuk mengobservasi keberadaan tukang becak yang bekerja di pasar tradisional sekitar Universitas Negeri Malang yaitu di pasar Jalan Jombang.

B.     Metode Observasi
Observasi dan wawancara kami lakukan pada hari Minggu 10 Pebruari 2013 pukul 06:30 samapai pukul 07:30 WIB dengan mengamati keadaan pasar Jalan Jombang dan mewawancarai tukang becak dan salah satu penumpangnya yang berada di pasar Jalan Jombang.

C.    Hasil Observasi dan Wawancara
1.      Gambaran Umum Pasar Jalan Jombang dan Keberadaan Tukang Becak
Pasar Jalan Jombang merupakan pasar tradisonal yang berada kurang lebih 0,5 km barat daya Universitas Negeri Malang. Pasar ini buka setiap hari mulai subuh sampai pukul 11:00 siang. Seperti namanya lokasi pasar Jalan Jombang memenfaatkan keberadaan Jalan Jombang gang IA. Karena terletak di sebuah gang yang tidak terlalu lebar, para pengunjung biasanya hanya berjalan kaki, naik motor atau becak untuk menuju pasar ini.  Di pasar ini dijual aneka kebutuhan dapur seperti sayuran, buah-buahan, dan aneka lauk (tahu, tempe, ikan, daging ayam). Selain itu juga di jual aneka jajanan seperti bakpao, roti goreng, lemper dan lain-lain.
Selain terdapat berbagai macam barang yang di jual, di pasar Jalan Jombang terdapat jasa parkir untuk kendaraan pengunjung dan penjual di pasar, dan yang menarik adalah keberadaan tukang becak yang membantu mobilitas baik penjual maupun para pengunjung pasar.
Tukang becak adalah profesi unik karena meskipun di zaman yang serba canggih ini, mereka masih bisa bertahan dan masih menjadi salah satu angkutan umum yang diminati oleh masyarakat Indonesia. Di pasar Jalan Jombang sendiri becak merupakan salah satu sarana angkutan yang masih diminati masyrakat, meskipun semakin lama semakin berkurang peminatnya karena banyaknya angkutan yang lebih modern seperti sepeda motor, mobil dan lain-lain.

2.      Biografi Narasumber
            Pak Koyin, lahir di Malang pada tahun 1949. Saat ini usia beliau adalah 63 tahun. Riwayat pendidikan beliau adalah tidak tamat SD. Pekerjaan saat ini adalah sebagai tukang becak yang hampi setiap pagi mangkal di Pasar Jalan Jombang. Ia tinggal di sebuah rumah di Kelurahan Karang Besuki bersama istrinya Bu Fatimah yang berusia 59 tahun sebagai ibu rumah tangga dan seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku kelas 3 sebuah SMA di kota Malang yang sekarang menjadi tanggunganya. Sebenarnya Pak Koyin memiliki 4 orang anak, namun 3 dari anaknya telah menikah dan hudup berumah tangga sendiri.
            Karena keadaan ekonomi yang bisa dikatakan pas-pasan, ke 4 anak Pak Koyin tersebut kurang mendapatkan pendidikan di sekolah. Untuk anak pertama dan kedua, mereka hanya lulusan SD (Sekoah Dasar). Dan untuk anak ke 3 ia sudah lulus SMA. Dan yang terakhir ini baru kelas 3 SMA, dan kemungkinan tidak dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi karena tidak adanya biaya. Oleh karena anak pertama dan kedua hanya lulusan SD, merka hanya bisa bekerja sebagai kuli bangunan yang pendapatanya juga tidak banyak. Sehingga Pak Koyin tidak mungkin menggantungkan semua kebutuhan hidupnya kepada anak-anaknya.
            Menjadi tukang becak merupakan pekerjaan utama dari Pak Koyin, hampir setiap pagi setelah subuh ia mangkal di pasar Jalan Jombang sampai pasar tutup sekitar pukul 11:00 siang. Setelah itu ia pindah pankalan yaitu di jalan Surabaya, tepatnya di depan gerbang selatan Universitas Negeri Malang.
3.      Alasan Mejadi Tukang Becak
            Pak Koyin menjadi tukang becak sejak tahun 1980 an. Pada saat itu usia beliau sekitar 31 tahun. Pada waktu itu beliau memilih menjadi tukang becak karena pekerjaan ini tidak membutuhkan keahlian dan pendidikan khusus “kecuali keahlian menyetir becak” dan tidak mempermasalahkan tamatan pendidikan mengingat Pak Koyin tidak lulus SD. Pada waktu itu bekerja sebagai tukang becak tidak membutuhkan modal finansial yang besar, beliau hanya bermodalkan semangat untuk bekerja. Karena pada saat itu ada juragan yang bersedia memodali Pak Koyin dengan sebuah becak yang dapat digunakan untuk bekerja. Pada waktu itu sistem yang disepakati keduanya adalah sistem setoran. Namun beberapa tahun kemudian Pak Koyin dengan uang hasil tabungannya dapat membeli becak tersebut dan akhirnya hasil dari “narik becak” dapat dinikmati tanpa harus memberikan setoran kepada juragan becak. Kurang lebih sekitar 32 tahun hingga saat ini Pak Koyin bekerja sebagai tukang becak.

4.      Konsumen atau Pelanggan Becak
Untuk penumpang atau konsumen, pak Koyin biasanya mengangkut penjual maupun para pengunjung pasar Jalan Jombang. Para penjual biasanya menggunakan jasa becak untuk mengangkut barang daganganya ketika berangkat ke pasar maupun pulang dari pasar. Namun sedikit sekali penjual yang menggunakan jasa becak ini, karena biasanya pejual sudah membawa kendaraan sendiri atau diantar oleh salah satu keluarganya. Penumpang lainya biasanya adalah pengunjung pasar yang hendak pulang belanja maupun hanya jalan-jalan dari pasar Jalan Jombang.

5.      Pendapatan Pak Koyin dari Narik Becak
Beliau membandingkan dari segi pendapatan sejak tahun-tahun pertama ia menarik becak dengan pendapatan pada akhir dekade ini seiring menjamurnya transportasi berbasis mesin bahwa jika dahulu pendapatan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan mencukupi biaya sekolah anak-anaknya bahkan Pak Koyin mampu menyisakan sebagian uangnya untuk di tabung. Namun pada saat ini pendapatan Pak Koyin hanya cukup untuk kebutuhan makan saja. Jika di rata-rata pendapatan Pak Koyin sehari hanya sebesar Rp 30.000. bahkan seringkali pak Koyin pulang dengan tidak membawa uang sepeserpun. Dan untuk kebutuhan biaya sekolah anak terakhirnya yang sekarang duduk di kelas 3 SMA Pak Koyin mendapat bantuan dari anak-anaknya yang telah berumah tangga.
            Meskipun pendapatan Pak Koyin dari hasil narik becak saat ini kurang mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya, namun beliau tetap bertahan menjadi tukang becak. Hal ini karena Pak Koyin tidak memiliki keahlian lain selain menjadi tukang becak. Meskipun sebenarnya beliau menginginkan bekerja  di sektor lain yang lebih banyak mendatangkan rezeki. Selain itu keadaan usia Pak Koyin yang sudah tua menyebabkan beliau enggan untuk beralih pekerjaan sepeti menjadi kuli bangunan karena itu membutuhkan tenaga yang besar.

6.      Tanggapan Penumpang terhadap Keberadaan Becak di Pasar Jalan Jombang
Salah satu penumpang becak yang ada di pasar Jalan Jombang adalah pak Rozak, ia adalah seorang penjual sayur dan buah di pasar Jalan Jombang. Hampir setiap hari ia menggunakan jasa becak untuk mengangkut barang daganganya baik untuk berangkat maupun pulang dari pasar. Menurut Pak Rozak keberadaan becak sangat membantunya dalam mengangkut barang daganganya. Selain itu dengan tarif yang cukup murah yaitu hanya Rp 2 rb sampai Rp 3 rb sekali jalan, pak Rozak sudah bisa membawa barang daganganya ke pasar. Di banding menggunakan sepeda motor, pak Rozak lebih memilih menggunakan becak karena becak memiliki daya tampung dan daya angkut barang yang lebih besar dibandingkan sepeda motor.  Pak Rozak menambahkan, jika barang dagangan yang berupa sayur dan buah di bawa menggunakan motor kemungkinan rusak nya lebih besar dari pada diangkut menggunakan becak.

D.    Kesimpulan

Becak merupaka salah satu sarana transportasi yang masih menjadi pilihan di Indonesia khususnya di pasar Jalan Jombang Kota Malang. Keberadaan becak disini membantu sebagian orang yang membutuhkan jasanya. Namun dengan maraknya transportasi modern seperti sepeda motor dan mobil, menjadikan eksistensi becak menjadi menurun di mata masyarakat. Hal ini berdampak pada berkurangnya jumlah penumpang becak setiap tahunya yang berakibat pada menurunya penghasilan tukang becak. Kejadian semacam ini menyebabkan semakin berkurang pula profesi sebagai tukang becak, hanya beberapa orang saja yang masih bertahan menjadi tukan becak karena berbagai alasan.