SEJARAH LOKAL
”SEJARAH
GONG KYAI PRADAH DAN UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DI LODOYO KECAMATAN
SUTOJAYAN KABUPATEN BLITAR”
ARTIKEL
disusun untuk memenuhi tugas
matakuliah
Sejarah
Indonesia yang
dibina oleh Bapak Dr.
GM. Sukamto, M.Pd
Oleh:
Ali Sunarno
120741404075
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
April 2013
SEJARAH
GONG KYAI PRADAH DAN UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DI LODOYO KECAMATAN SUTOJAYAN
KABUPATEN BLITAR
Ali
Sunarno
Abstrak
Indonesia merupakan negara yang kaya
akan budaya dan tradisi lokal. Budaya yang melimpah ini dipegaruhi oleh
peradaban zaman dahulu khususnya zaman kerajaan. Kerajaan-kerajaan tersebut
mewariskan budaya yang sebagian masih dapat kita lihat higga saat ini baik
berupa benda-benda maupun suatu tradisi. Pada saat ini, benda-benda dan tradisi
peninggalan zaman dahulu tidak hanya digunakan untuk ritual saja tetapi
terdapat pula aspek rekereasi dan pariwisata budaya. Di Kabupaten Blitar,
khususnya di wilayah Lodoyo terdapat benda peninggalan zaman kerajaan berupa
Gong Kyai Pradah dan tradisi Siraman
Gong Kyai Pradah yang masih dapat dilihat hingga saat ini. Dalam hal ini
dibahas mengenai sejarah Gong Kyai Pradah, ritual upacara siraman Gong Kyai
Pradah, serta makna tradisi siraman Gong Kyai Pradah bagi masyrakat.
Kata Kunci : Gong Kyai
Pradah, Upacara Siraman, Lodoyo.
A.
Sejarah
Gong Kyai Pradah
Tesebutlah dalam
ceritera, kira kira pada tahun 1704-1717 Masehi di Surakarta, bertahtalah
seorang raja yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuono 1. Raja ini mempunyai
saudara ke-2 yang lahir dari Isteri Ampeyan ( bukan Permaisuri ) bernama
Pangeran Prabu. Ketika Sri Susuhunan Pakubuwono I dinobatkan menjadi Raja,
Pangeran Prabu sangat kecewa hatinya, karena sebenarnya ia berambisi pula
menjadi raja. Maka dari itu ia berkeinginan untuk membunuh adiknya. Rencana ini
telah diketahui oleh kakaknya sebelum dilaksanakan. Sebagai hukuman dari
keinginannya itu, ia diharuskan pergi ke daerah Lodoyo untuk menebang hutan
lebat ini untuk dijadikan daerah pedesaan. Suatu hal yang tidak mustahil bahwa
hutan yang sangat lebat itu, pasti banyak binatang binatang buas dan banyak
pula roh roh yang jahat yang bersarang disitu.
Inilah sebabnya pangeran
prabu harus mendesakan daerah itu dengan maksud supaya pangeran prabu dimangsa
oleh binatang binatang buas atau mati karena sebab yang lain. Pada waktu itu
Lodoyo termasuk daerah yang gawat dan berbahaya dengan ungkapan kata “ Jalmo
moro Jalmo mati “ ( siapa yang datang, berarti mencari kematian ). Tetapi
sekarang tidak, justru ungkapannya “ jalmo moro, jalmo krasan “ ( siapa yang datang
, akan hidup tentram).
Pangeran prabu yang
merasa bersalah makar tehadap raja itu dengan rasa sedih berangkat melaksanakan
sabda raja, dengan diiringi isteri tua benama Rr. Wandansari dan abdi yang
setia pula, bernama Ki Amat Tariman. Ia membawa serta pusaka yang disebut Kyai
Bicak, sebagai alat penawar keadaan daerah yang gawat ini, berupa GONG ( KEMPUL
LIMO ).
Mereka berangkat dari
Surakarta menuju ke arah timur. Perjalanan yang disertai kesedihan dan
penderitaan itu sebagai pendorong kuat untuk segera datang ke tempat
tujuan.Selang beberapa bulan dari keberangkatannya mereka datang ketempat itu.
Pertama-tama meraka datang di rumah seorang janda bernama Nyi Partosuto di
hutan Ngekul.
Pangeran Prabu hanya
beberapa waktu saja berdiam disitru, karena kesedihan hatinya belum dapat
disembuhkan. Untuk menghilangkan kesedihannya itu Ia berpendapat bahwa hanya
Tuhan-lah kiranya yang bisa menyembuhkannya. Maka dari itu dengan terpaksa
mereka meninggalkan si Janda Partosuto guna mencari ilham dari Tuhan. Sebelum
mereka meninggalkan Ngekul, sudah membayangkan betapa sulitnya perjalanan yang
harus ditempuhnya, maka Pusaka Kyai Becak terpaksa ditinggalkan di Janda
Partosuto dengan Pesan :
1. Tiap
tanggal 1 syawal (bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri) dan tanggal 12 rabiul
Awal bertepatan dengan Kelahiran Nabi
Muhammad SAW) Pusaka ini harus dimandikan dengan air jernih/suci dicampur
dengan bunga rampai.
2. Air
Bekas untuk memandikan bisa digunakan untuk menyembuhkan penyakit serta bisa
menentramkan hati, bagi siapapun yang meminumnya.
Pada suatu waktu
berpisahlah Ki Amat Tariman dengan Pangeran Prabu yang menyebabkan
kebingungannya untuk menemukan majikannya. Setelah habis daya dan upaya untuk
mencarinya dan belum bersua juga maka Ki Amat Tariman dalam kebingangannya
sempat memukul Gong Kyai Becak itu tujuh kali dengan maksud suara gaung Gong
bisa terdengar oleh Pangeran Prabu. Wal hasil bukan Pangeran Prabu yang
menyahuti suara Gong itu namun beberapa Harimau besar yang mendatanginya.
Anehnya, harimau itu tidak mengganggu Ki Amat Tariman namun justru memberikan
tanda bagi Ki Amat Tariman untuk mengikuti arah harimau itu berjalan. Dan
akhirnya bertemulah Ki Amat Tarima dengan Pangeran Prabu. Maka semenjak itulah
Gong Kyai Becak, disebut juga sebagai Kyai Macan atau Kyai Pradah.
Setelah itu mereka
berangkat berjalan ke arah barat menuju Hutan Pakel. Dan disitulah Pangeran
Prabu bertapa untuk mendapatkan Petunjuk dari Tuhan. Beberapa saat bertapa
namun Pangeran Prabu tetap belum bisa menghilangkan kesedihannya, maka
dilepaskanlah semua tanda kebangsawanannya berupa pakaian dan lain-lain dan
ditinggalkan di pesanggraha Pakel. Tempat itu sampai sekarang masih dikeramatkan
penduduk sekitarnya.
Mereka meningglakan
Pakel menuju ke barat dan belum jauh perjalanan yang ditempuh di tengah jalan
mereka bertemu dengan Prajurit utusan Kerajaan Surakarta. Perselisihan dan
pertikaian tidak bisa dielakkan lagi dan akhirnya dimenangkan oleh Pangeran
Prabu. Meskipun demikian Pangeran Prabu tetap waspada dan berjaga-jaga di Bukit
Gelung. Namun hari berganti hari bulan berganti bulan ternyata tidak ada lagi
prajurit Surakarta yang datang. Mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan
ke Hutan Keluk (sekarang Desa itu dikenal dengan Desa Ngrejo, Lodoyo Barat). Di
sebuah tempat di Desa ini Pangeran Prabu memangkas Rambutnya dan ditanamlah
disitu Rambut bersama Mahkotanya. Tempat ini sampai sekarang masih dikeramatkan
oleh penduduk sekitar.
Perjalanan mereka
diteruskan ke timur hingga sampailah di hutan Dawuhan. Disana ia membuka ladang
pertanian dengan ditanami padi. Namun tidak berhasil dan gagal panen. Maka
tempat itu dijuluki Gogo Wurung ( gogo artinya berladang/bertani dan Wurung
berarti gagal).
Setelah itu perjalanan
diteruskan dan sampailah mereka ke Hutan Darungan. Ada kejadian yang
menyedihkan bagi Pangeran Prabu disini yaitu Istrinya Ki Wandansari yang tengah
hamil tua melahirkan di sebuah bukit dan si Jabang bayinya wafat. Dia
dikuburkan di tempat itu juga dan tempat itu akhirnya dijuluki Bukit Pandan.
Tempat sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitar.
Perjalanan diteruskan
ke timur menyusuri pinggiran sungai Brantas melalui Hutan Jegu, Gondanglegi,
Tawangrejo dan beristirahat di Hutan Kaulon. Di tempat ini Pangeran Prabu
beserta istri dan pengikut setianya mendirikan tempat untuk berteduh dari terik
matahari dan hujan selama beberapa bulan. Di tempat ini pula Nyi Wandansari
hamil dan akhirnya melahirkan 2 anak kembar. Kedua bayinya tidak berusia
panjang dikarenakan tidak adanya alat untuk membantu saat persalinan anaknya
sehingga bukit ini dijuluki Bukit Peranti. Bukit ini sampai sekarang masih
dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya.
Di desa inilah riwayat
Pangeran Prabu berakhir dan tidak diketahui lagi kisah perjalanannya. Namun
Janda Partosuto tetap melaksanakan pesan Pangeran Prabu untuk merawat Kyai
Pradah. Sepeninggal Nyi Partosuto Pemeliharaan Gong Kyai Pradah diserahkan
kepada :
1. Ki
Hadiboyo (di Desa Ngekul)
2. Ki
Dalang Redi Guno ( di Desa Kepek)
3. Kyai
Imam Suparno ( Karena beliau dipanggil ke Istana Surakarta maka Gong
diserahkan kepada adiknya)
diserahkan kepada adiknya)
4. Kyai
Imam Seco (adik Kyai Imam Suparno dari Desa Sukoanyar daerah yang
Ber rawa-rawa, sekarang disebut Surejo. Beliau menjabat sebagai Wakil Penghulu di Blitar hingga wafat tahun 1973.
Ber rawa-rawa, sekarang disebut Surejo. Beliau menjabat sebagai Wakil Penghulu di Blitar hingga wafat tahun 1973.
5. Raden
Ronggo Kertarejo(di Desa Kalipang)
6. ……
7. Mbah
Palil (di kelurahan Kalipang sampai saat ini)
Kyai Pradah yang
berwujud Gong (kempul limo) dahulu dibalut dengan kain sutera Pelangi atau
cinde dengan dikelilingi benda-benda pusaka lainnya. Hingga Sekarang Benda ini
masih dirawat dan dimandikan sesuai Pesan Pangeran Prabu, yang disaksikan oleh
ribuan pengunjung dan masyarakat yang masih mengkeramatkannya.
B.
Upacara
Siraman Gong Kyai Pradah
Upacara
adat Siraman
Pusaka Gong
Kyai Pradah merupakan
salah satu bentuk budaya lokal di Kabupaten Blitar,
Provinsi
Jawa Timur.
Tradisi
ini sampai sekarang
masih tetap diselenggarakan
oleh masyarakat
pendukungnya, yaitu setahun dua kali di Lodoyo,
Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar.
Hal ini karena
masyarakat
pendukungnya percaya
bahwa tradisi
ini masih bermanfaat
dalam kehidupannya.
Pelaksanaan upacara
adat siraman
pusaka tersebut
merupakan
bentuk pemeliharaan
secara
tradisional
benda peninggalan nenek moyang yang berupa
Gong bernama
Kyai Pradah,
sehingga dengan pemeliharaan
ini pusaka Gong
Kyai Pradah akan
tetap lestari.
Tradisi
Siraman
Pusaka Gong
Kyai Pradah dapat
menambah rasa
persatuan
dan kegotongroyongan
antar
warga
Lodoyo. Selain itu pelaksanaan tradisi
tersebut
juga dapat menambah pendapatan masyarakat
setempat. Kegiatan ini menjadi salah satu aset wisata budaya di Lodoyo khususnya dan di Kabupaten
Blitar
pada umumnya.
Upacara
adat siraman
pusaka Gong
Kyai Pradah banyak
mengandung nilai-nilai budaya luhur
warisan
nenek moyang, oleh karena
itu sebaiknya tradisi
tersebut
tetap dilestarikan
dan diinternalisasikan
kepada generasi
muda supaya mereka
tidak lepas dari
akar
budayanya.
Upacara siraman Gong
Kyai Pradah dilaksanakan dua kali setahun, yaitu setiap tanggal 12 Robiul Awal
bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad dan tanggal 1 Syawal bertepatan
dengan hari Raya Idul Fitri. Khusus penyelenggaraan tanggal 12 Robiul Awal upacara
diadakan secara besar-besaran, sedangkan upacara yang diadakan pada tanggal 1
Syawal dilaksanakan secara sederhana oleh petugas yang berkepentingan saja.
Pelaksanaan upacara
siraman Kyai Pradah dipusatkan di alun-alun Kawedanan Lodoyo kecuali ziarah. Di
lokasi tersebut perlengkapan upacara telah dipersiapkan secara permanen, yaitu:
panggung siraman setinggi tiga meter dengan luas kurang lebih enam belas meter
persegi, dan sanggar penyimpanan, serta pendopo kawedanan.
Sanggar penyimpanan
adalah tempat penyimpanan Kyai Pradah beserta kenong dan wayang krucil, tempat
dimana para pengunjung menyampaikan hajadnya pada hari-hari biasa. Pada saat
upacara, sanggar penyimpanan digunakan untuk tirakatan dan selamatan.
Adapun panggung siraman
adalah tempat untuk melaksanakan acara puncak yaitu siraman gong Kyai Pradah;
pendopo kawedanan pada saat upacara digunakan sebagai tempat duduk para
undangan, acara selamatan, dan tempat hiburan. Ziarah dilakukan di patilasan
yang terletak di Dukuh Dadapan, Kecamatan Sutojayan.
Penyelenggaraan upacara
siraman pada mulanya dilakukan secara spontan oleh warga masyarakat dengan
dikoordinasi para kepala desa di Kecamatan Sutojayan. Namun sekarang
penyelenggaraan upacara dikoordinasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten Blitar. Tokoh-tokoh yang berperan sebagai penyelenggara teknis
upacara adalah sebagai berikut.
a. Pejabat
Pemerintah. Pada upaeara yang dilaksanakan pada tanggal 12 Robiul Awal sebagai
penanggung jawab formal pelaksana upacara adalah Bupati Blitar, sedangkan pada
upaeara 1 Syawal tokoh yang berperan adalah Pembantu Bupati Lodoyo.
b. Juru
kunci, yaitu juru kunci petilasan dan juru kunci Kyai Pradah.
c. Para
dhalang yang bertempat tinggal di Lodoyo, bertugas membawa kenong dan wayang
krucil.
d. Petugas
pembawa panji-panji Kawedanan Lodoyo dan paying
e. Pemain
kesenian tradisional.
f. Pemasak
sesaji.
Siraman
dimulai dengan pembacaan riwayat Kyai Pradah oleh Bapak Bupati yang diwakilkan
pada salah satu petugas. Pembacaan dilakukan dengan mikrofon sehingga para
pengunjung mendengar dengan jelas.
Selesai
pembacaan riwayat dimulailah puncak acara siraman. Siraman pertama kali
dilakukan oleh Bapak Bupati, dilanjutkan Bapak Pembantu Bupati, pejabat
Muspika, juru kunci dan para dhalang. Kyai Pradah kemudian digosok-gosok dengan
kembang setaman agar hilang karatarinya. Kembang setaman kemudian
dipercik-percikkan ketujuh tempayan yang telah diisi air.
Setelah Kyai
Pradah selesai disirami, maka Bapak Bupati segera mengguyurkan air yang
ditempayam ke para pengunjung yang berdesak-desakan di bawah panggung siraman
sampai habis. Demikian halnya yang di atas panggung pun saling berebut
mendapatkan air bekas siraman karena ir bekas siraman dipercaya dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit, tolak balak bahkan membantu orang yang
belum dapat jodoh.
Prosesi Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. Warga berebut air bekas siraman Gong Kyai Pradah.
DAFTAR RUJUKAN
Setiawan,
Hengky Ismuhendro dan Subiyatningsih, Foriyani. 2011. Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. (Online), (http://Upacara Siraman
Gong Kyai Pradah_Pusaka Jawatimuran.htm), diakses pada 15 April 2013.